Opini
IMPIAN NEGARA “KESEJAHTERAAN”

Oleh: Abrar Kharas
ASN Pemkab Lahat dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Negara adalah sebuah keluarga besar tempat warga negara siapapun mereka harus diperlakukan sebagai anak-anak bangsa secara adil.
Mereka tidak boleh dibiarkan hidup-mati sendiri, melainkan harus dilindungi, dijaga martabatnya, serta diberi jaminan hidup sejahtera oleh Negara.
Seperti yang di tulis oleh Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul The Leviathan (1651), “government is a protector “, artinya disini tugas pemerintah adalah sebagai pelindung sekaligus penjamin hak-hak dasar masyarakat.
Kemudian dalam buku yang berjudul model dan desain negara kesejahteraan, Profesor Budi Setiyono menjelaskan, Negara Kesejahteraan adalah konsep pemerintahan dimana negara memainkan peran penting dalam perlindungan dan promosi kesejahteraan ekonomi dan sosial warga secara menyeluruh.
Masih dalam bukunya, Prof Budi Setiyono mengutip sosiolog Denmark Esping_Andersen tentang Welfare State yang membaginya menjadi tiga model, yakni, pertama, The Liberal Welfare State, merupakan model negara kesejahteraan yang bertumpu pada pasar dan penyediaan jasa oleh pihak swasta.
Posisi negara hadir dalam pelayanan-pelayanan ketika kondisi darurat seperti resesi ekonomi dan bencana alam. Prinsipnya, negara hanya memberikan perlindungan bagi warganya dalam rangka pengurangan kemiskinan.dan penyediaan kebutuhan dasar pada kejadian-kejadian, dan urgensi kehidupan.
Dalam model ini, negara hanya memberikan sedikit sekali bantuan dan jaminan sosial kepada warganya. Pelayanannya juga terbatas pada warganya yang terdampak kemiskinan, sedangkan kelas menengah tidak mendapatkan layanan ini.
Dengan demikian, model negara kesejahteraan liberal menyebabkan pembelahan antara kelas menengah dan kelas bawah. Akibat lain adalah, negara memberikan pada kelompok tertentu, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah atau masyarakat yang paling membutuhkan.
Sehingga, hal ini memerlukan kontrol ketat dari birokrasi pemerintah untuk menentukan siapa yang berhak dan tidak untuk menerima jaminan sosial dari negara.
Yang kedua adalah Negara Kesejahteraan Sosial Demokratik, sitem Negara kesejahteraan yang memberlakukan pelayanan universal pada seluruh warga negara untuk mengakses pelayanan secara setara tanpa memandang penghasilan dan tingkat ekonomi warga.
Pelayanan yang dimaksud merupakan jaminan sosial penyediaan pekerjaan, kesehatan, pendidikan melalui penyesuaian model perpajakan.
Sehingga, tanpa memandang kelas, seluruh warga negara dilayanani jaminan sosial untuk mencapai kesejahteraan yang dimaksud. Model ini merupakan perkembangan dari sosialisme yang juga mengakomodir kepentingan kelas menengah dalam pelayanan negara. Dan model ini banyak diterapkan di negara-negara Skandinavia “Nordic Model“.
Kemudian yang ketiga adalah model Kristian dari Negara Kesejahteraan merupakan model paling moderat. Dijelaskan Prof Budi Setiyono , model ini menerapkan prinsip subsidiarity atau desentralisasi dan dominasi skema asuransi-asuransi sosial.
Sekaligus, negara menawarkan alternatif jaminan sosial dan asuransi sesuai dengan tingkat ekonomi. Dengan kata lain, negara memberikan jaminan sosial kepada seluruh warga negara, namun demikian juga tetap memberikan kebebasan kepada warganya memilih untuk mendanai jaminannya sendiri.
Kemudian bagaiamana dengan Indonesia, sebenarnya Indonesia telah menerapkan Welfare State dalam berbagai bentuk, misalnya Bantuan Langsung Tunai, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Subsidi BBM, Subsidi Listrik, Program Wajib Belajar 12 tahun, Bantuan selama pandemi Covid-19, Program wajib belajar 12 tahun dan BOS untuk dunia pendidikan.
Semua itu merupakan upaya-upaya bagaimana Negara kita memainkan perannya untuk melindungi dan menjamain kesejahteraan masyarakatnya.
Namun demikian, kenapa Indonesia belum juga mencapai titik “ideal” dari negara kesejahteraan Ada beberapa urgensi rekomendasi agar upaya dan peran Negara dalam menghadiahi suatu kesejeahteraan kepada warga negarannya dapat lebih efesien :
Pertama, Adanya pembaruan bank data yang kuat, akurat dan berkala yang kemudian dijadikan data tunggal”. Dalam mengupayakan Negara kesejahteraan, tentu saja kita bergerak melalui data yang kuat, akurat dan berkala.
Bagaimana mungkin program dan kebijakan akan baik tanpa didasari data. Contoh di Kementrian Sosial baru-baru ini, ada 21 juta data ganda penerima bansos dinonaktifkan.
Bagaimana mungkin upaya hadirnya Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya akan optimal jika sasaran yang di berikan perlindungan dan jaminan justru tidak akurat.
Kedua, Negara harus mulai menyusun sistem keseimbangan antara kewajiban dan hak (obligations and rights) bagi warga Negara. Sudah seharusya kewajiban dan hak terkelola dalam satu kesatuan yang konektif dan resiprokal.
Negara belum menyediakan perangkat untuk memastikan setiap warga Negara yang melaksanakan kewajiban dengan baik akan diberi hak secara penuh.
Bahkan Negara belum mendefiniskan secara pasti apa saja yang menjadi kewajiban warga Negara dan apa saja yang menjadi hak yang akan diperoleh setelah melaksanakan kewajiban itu.
Hal ini juga yang menjadi faktor banyaknya warga negara yang seperti menyepelekan hukum, karena tidak ada konsekuensi akan kehilangan hak yang diberikan oleh negara apabila melanggar hukum.
Ketiga, Kolaborasi dan harmonisasi antara pemerintah dan warga negara. Seluruh negara yang sudah mencapai taraf kesejahteraan, lahir dari kerja sama yang baik antara pemerintah dan seluruh warga negaranya.
Tentu saja hal ini juga berlaku di Negara kita. Namun pada era “global village” saat ini, ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat memungkinkan lahirnya distrust kepada pemerintah.
Dampak selanjutnya dari adalah keacuhan masyarakat tersebut terhadap ketentuan dan kewajiban yang ada di Negara kita . Tentu saja hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan bernegara, terlebih jika kita memimpikan Negara yang sejahtera.
Serta yang terakhir, kelembagaan konektif. Dalam mewujudkan negara kesejahteraan tentu peran lembaga negara yang konektif harusnya bisa menjadi Grand Planning dalam upaya mewujudkan negara kesejahteraan.
Misalnya, dalam tahun 2020 Kabupaten Lahat melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengkonfirmasi akan ada lulusan x jumlah peserta didik. Tentu saja x jumlah peserta didik yang lulus tersebut akan masuk ke daftar pencari kerja.
Kemudian selanjutnya Dinas Ketenagakerjaan harus mampu mengantisipasi terhadap kebutuhan peluang lapangan pekerjaan baru sebanyak x jumlah peserta didik yang sudah lulus tsb.
Fungsi selanjutnya dari dinas ketenagakerjaan adalah bagaiamana membuat para pencari kerja baru ini, mempunyai kesiapan dan skill untuk terjun ke dunia kerja, misalnya dengan memberikan pelatihan dan pematangan skill.
Kemudiaan bagaimana untuk melahirkan peluang lapangan pekerjaan baru tersebut demi memenuhi kebutuhan para pencari kerja tersebut? Peran Dinas Perizinan dan Penanam Modal harus mampu merangsang dan mengupayakan pemunuhan kebutuhan tersebut dengan menarik investor, demi menghindari membludaknya angka pengangguran di wilayah itu.
*Referensi, Model & Desain Negara Kesejahteraan, 2018 oleh Prof Budi Setiyono, Ph.D.
Opini
Efisiensi Anggaran Lahat Paling “Jempol”, Tapi Bukan untuk Dibelanjakan Sia-sia

Oleh : Ishak Nasroni (Plt. Sekretaris SMSI Sumsel dan Pemred Lahathotline.com)
SETELAH resmi dilantik beberapa bulan lalu, Bupati Lahat Bursah Zarnubi, SE dan Wakil Bupati Lahat Widia Ningsih, SH, MH memulai aktivitasnya menjalankan roda pemerintahan selaku pemangku kebijakan di Bumi Seganti Setungguan. Salah satu kebijakan yang patut diacungi jempol dari program kerja Kabinet BZ-WIN adalah menginstruksikan kepada semua Stakeholder di semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lahat, agar “Ngirit” alias mengefisiensi Anggaran Daerah.
Tak dipungkiri kebijakan ini juga merupakan wujud kepatuhan BZ-WIN dalam mengikuti instruski Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang telah memotori kebijakan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti dituangkan dalam Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.
Beranjak dari regulasi tersebut, Pemerintahan BZ-WIN tak ragu untuk menerapkannya di Kabupaten Lahat. Bahkan berdasarkan penelusuran dari berbagai kanal internet, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lahat berani mengefisiensi APBDnya hingga merealokasi anggaran yang dilakukan mencapai Rp313 miliar dari total APBD sebesar Rp3,3 triliun. Ini adalah ‘Pengiritan” Anggaran yang sangat luar biasa dan patut diakui sebagai kebijakan efisiensi yang paling “Jempol”.
Sebagai seorang jurnalis sekaligus pengamat kebijakan daerah, penulis sangat mendukung program-program Kabinet BZ-WIN yang dikenal dangan jargonnya “Menata Kota Membangun Desa”. Tentunya, penataan kota dan pembangunan desa ini juga harus dibarengi dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di berbagai instansi terkait. Karenanya, Badan dan Dinas serta OPD lainnya mesti mampu menyusun strategi penataan dan pembangunan guna mewujudkan jargon tersebut.
Sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan SDM yang mumpuni, dipastikan para pegawai harus seimbang dengan berbagai regulasi dan perkembangan baru di tubuh instansinya. Namun demikian, dalam mendapatkan SDM yang memupuni tersebut tidak harus dengan mengadakan dan mengikuti Pelatihan atau Bimbingan Teknik (Bimtek) semata.
Anehnya pada Minggu, 27 April 2025 sampai Sabtu, 03 Mei 2025 untuk tahap awal sebanyak 92 Operator Desa di Kabupaten Lahat mengikuti pelatihan dan Bimtek Transaksi Non-Tunai yang dinakhodai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMDes) Kabupaten Lahat bekerja sama dengan Event Organizer (EO) Praja Sriwijaya berlokasi di Hotel Santika Kabupaten Lahat dan di Kota Malang, Jawa Timur.
Sementara untuk tahap berikutnya akan diselenggarakan pada pada Senin tanggal 9 Juni 2025 sampai dengan Minggu tanggal 15 Juni 2025 juga bertempat di Lahat dan Batu Malang Jawa Timur dengan peserta para Sekretaris Desa (Sekdes), Operator Siskeudes dan atau Perangkat yang membidangi.
Kendati biaya keberangkatan mengunakan Dana Desa lebih kurang Rp14.000.000 per peserta, namun uang yang digunakan tersebut tetap saja Uang Negara yang sudah ditransfer ke rekening desa dan selanjutnya disebut APBDes. Jika sudah menjadi APBDes, tak bisa dibantah bahwa itu Uang Rakyat di desa tersebut yang semata-mata mesti digunakan untuk kepentingan pembangunan desa secara fisik maupun non fisik.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 disebutkan bahwa Dana Desa harus digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pemanfaatan Dana Desa diatur lebih ketat melalui Peraturan Menteri Keuangan dan regulasi teknis lainnya, termasuk larangan penggunaan dana secara tidak efektif.
Jika disoroti dari aspek kepentingan kelancaran sistem keuangan desa, Bimtek ini sangat tidak perlu dilakukan. Karena untuk mendapatkan seorang perangkat yang mumpuni di bidangnya tidaklah susah. Kemudian apabila dipandang dari sisi kemanfaatan bagi pembangunan desa, juga sangat jauh mencapai dayagunanya bagi masyarakat desa secara umum. Bahkan dapat dikatakan, bahwa dana yang digunakan 14 juta yang dikutif dari APBDes tersebut adalah “Penyimpangan”.
Cara yang paling tepat dan efisien (Ngirit) dalam mengiringi kemajuan era degitalisasi dengan peralatan yang serba smart dan canggih sekarang ini, tidak susah Pemerintah Desa (Pemdes) di Kabupaten Lahat. Yaitu dengan melakukan rekrutmen perangkat secara selektif, tentunya SDM sudah menguasai bidang kerjanya masing-masing sehingga mampu untuk beradaptasi dalam setiap mengikuti kebijakan serta regulasi yang ada.
Untuk sekarang ini di setiap desa dipastikan banyak anak-anak muda bergelar Sarjana yang berprestasi, mampu mengoperasikan komputer dengan baik, mampu meginfut data-data keuangan dengan lancar. Hanya saja, pihak DPMDes dan Pemdes yang harus peka dalam menyerap setiap perubahan kebijakan Pemerintah Pusat. Setelah informasi perubahan kebijakan tersebut didapat oleh DPMDes dan Pemdes, maka segeralah beritahukan pada Perangkat Desanya untuk kemudian diterapkan di desa mereka.
Saya meyakini, kalau memang pihak Pemdes dan DPMDes mau melakukan langkah-langkah tersebut, maka tidak akan ada Dana Desa untuk membangun yang terbuang sia-sia terserap oleh biaya Pelatihan dan Bimtek, kecuali kegiatan tersebut sengaja didesaign hanya untuk mencapai keuntungan bagi sebagian pihak saja.
Dalam hal ini, tidak hanya persoalan yang tertuang pada narasi di atas saja yang perlu disikapi sedini mungkin oleh Bupati dan Wakil Bupati Lahat. Tapi mesti terus diingatkan pada semua OPD supaya tidak menggunakan dana sia-sia yang tidak mendesak serta berpotensi pada penyimpangan realisasi.
Apabila semua pihak terkait mengikuti instruksi Bupati dan Wakil Bupati tentang efisiensi sesuai dengan regulasi yang ada, maka dukungan terhadap Menata Kota Membangun Desa akan terwujud dengan tidak mengorbankan APBdes.
Akhir kata, saya selaku penulis menyampaikan pendapat ini tidak lain hanya untuk kebaikan Pemerintah dan Masyarakat Lahat semata. Tidak mendiskreditkan pihak lain, juga tidak mengandung unsur negatif.
Ditulis di Lahat : 2 Mei 2025
Opini
Peringatan 30 Tahun Sistem Asuransi Kesehatan Nasional, Taiwan Tingkatkan Kesetaraan Kesehatan

Penulis Dr. Chiu Tai-yuan _ _ Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan_ _ ROC (Taiwan)
Opini
Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Oleh Ichsanuddin Noorsy*
*Ichsanuddin Noorsy adalah Ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).
Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdagangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan “kader Washington” mengaminkan anjuran yang memaksa itu.
Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang.
Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. “Let the free market play,” begitulah propagandanya, dan semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui.
Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).
Menkeu JB Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998. Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali.
Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa.
Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.
Justru dengan peristiwa itu AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia.
Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA (Re: Noorsy, Prahara Bangsa, Desember 2024).
Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara. Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC.
Kemudian, walaupun sudah mendapatkan kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.
Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.
Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebiijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi.
Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Februari 2011).
Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015 disebutkan bahwa perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.
Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.
Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai — yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015 — justru membuahkan perlawanan Rusia dan China.
Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS. Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development.
Tampak bahwa goal (SDGs) dari Barat yang dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO adalah melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya. Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC.
Maka dedolarisasi tak terhindarkan. Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar (SDGs) AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.
Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1, karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.
Tapi perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.
Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.
Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik, sementara krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.
Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat bahwa biaya perekonomian nasional AS dan upaya menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.
Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian.
Rasanya Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi, sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.
Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.
Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi).
Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi. Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. PHK pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia. Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini.
Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indonesia bahwa “inward looking” (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal yang sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.
Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.
Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri.
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara