Connect with us

Opini

Ekspedisi Toba HPN 2023: Jangan Lengah Mempertahankan Geopark Kaldera Toba

Published

on

Penulis: M Agus Utama, Ketua Bidang Pendidikan SMSI Sumatera Utara

DUNIA mengetauhi, Danau Toba telah menjadi perhatian internasional. Keindahannya tak bisa dipungkiri.

Betapa tidak, Kaldera Toba ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Persatuan Bangsa-Bangsa.

Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) melalui kegiatannya menjelang Hari Pers Nasional 2023 berupa Ekspedisi Geopark Kaldera Toba akan lebih dalam menyingkap rahasia Toba yang kini memberi kehidupan bagi masyarakat sekitarnya.

Apa yang harus dipertahankan oleh masyarakat dari penetapan dan keputusan UNESCO Global

Geopark, inilah yang akan didalami ekspedisi yang akan berlangsung 4- 7 Februari 2023.

Keputusan itu sendiri merujuk dari hasil Sidang ke-209 Dewan Eksekutif UNESCO, pada Selasa, 7 Juli 2020 di Paris, Perancis.

Penetapan Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark, merupakan proses panjang dari upaya bersama berbagai pemangku kepentingan baik Pemerintah Pusat dan Daerah maupun masyarakat setempat yang tinggal di kawasan Danau Toba.

Tak terkecuali Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai ‘Panglima’ yang menjadi leader bagi daerah di kawasan Danau Toba, harus terus menggaungkan dan memastikan Danau Toba, tetap menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark di masa mendatang.

Negara tak boleh berhenti sampai di sini, harus ada upaya lebih lanjut, agar Kaldera Toba tetap melekat di sisi hati rakyat Sumatera Utara.

Apalagi, Danau Toba sudah menjadi perhatian konkret pemerintah dengan menjadikannya sebagai Program Destinasi Wisata Super Prioritas bersama kawasan wisata lainnya, yakni; Borobudur, Likupang, Mandalika, dan Labuan Bajo.

Kita tentu sudah mengetahui, selain Danau Toba, Indonesia sebelumnya sudah memiliki empat lokasi yang menjadi UNESCO Global Geopark, yaitu Batur, Cileteuh, Gunung Sewu, dan Rinjani.

Atas dasar itulah, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) kembali dan akan terus mengajak negara dan perangkat daerah, bersama-sama bergandeng tangan bersama insan pers, terus menyuarakan betapa pentingnya Geopark Kaldera Toba bagi nama besar Indonesia di mata internasional.

Di moment Hari Pers Nasional (HPN) 2023 (9 Februari 2023) ini, SMSI sengaja dan terpanggil untuk mengusung tema ‘Ekspedisi Geopark Kaldera Toba’ (4-6 Februari 2023) dengan mendatangkan setidaknya 200 pemilik media digital

untuk berperan serta mempublikasikan, dengan menyaksikan langsung keindahan Taman Bumi Danau Toba nan kesohor ini, agar tetap menjadi destinasi wisata, budaya dan kekayaan adat asli Sumatera Utara.

Sejak awal, SMSI sebagai asosiasi media siber terbesar di Indonesia bahkan dunia yang memiliki jumlah anggota perusahaan pers terbanyak, yakni 2000 perusaan pers, mendapat ilham, melakukan ekspedisi  Geopark Kaldera Toba.

Melalui publikasinya melalui media online (pemberitaan), diharapkan  dunia dapat tetap menjadikan Danau Toba sebagai UNESCO Global Geopark sejajar dengan negara-negara lainnya, yang sudah terlebih dahulu masuk dalam catatan UNESCO.

SMSI mengutip dan mengamini harapan Gubernur Sumatera Utara, sebagai tuan rumah HPN 2023, agar diselenggarakan dengan penuh manfaat, menjadi penting dan bernilai, bukan hanya sekedar pagelaran seremoni.

Pernyataan ini, harus dicamkan seluruh konstituen Dewan Pers, serta seluruh insan pers tanah air, bahwa Hari Pers Nasional yang sudah diselenggarakan setiap tahun, dapat diambil satu rumusan, masukan, saran dan ide cerdas bagi program pemerintah ke depan.

Mempertahankan status Danau Toba agar tetap masuk dalam UNESCO Global Geopark bukanlah langkah mudah, bukan pula sekadar ‘cakap-cakap’ semata. Sebab persiapan infrastruktur di lingkar kawasan Danau Toba masih terdapat persoalan yang harus segera ditanggulangi.

Akses jalan misalnya, ternyata masih ada yang belum mulus. Pusat dan daerah harus berkolaborasi menuntaskan persoalan ini. Belum lagi fasilitas kawasan Danau Toba yang belum sepenuhnya berjalan, seperti pembangunan hotel.

Ingat, jangan sampai UNESCO Global Geopark mencoret nama danau kebanggaan Sumatera Utara (Danau Toba) ini dari catatan tinta emasnya.

Ketua SMSI Sumatera Utara, Erris J. Napitupulu, bersama seluruh pengurus dan elemen perangkat daerah, menyebut Kaldera Toba sebagai kekayaan dunia yang harus terus diperjuangkan.

“Tentunya dengan cara kita, sebagai insan pers digital, berperan aktif mengajak seluruh elemen, saling mendukung mempertahankan Geopark Kaldera Toba ini,”

Erris dan seluruh pengurus SMSI, baik pusat dan seluruh Indonesia meminta masyarakat Sumatera Utara jangan lalai, untuk mempertahankan Geopark Kaldera Toba tetap tercatat di UNESCO.

“Ayo kawan-kawan insan pers! Kita berjuang untuk mempertahankan Kaldera Toba sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark. Kita jangan sampai lalai,” tegas wartawati senior ini.****

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Efisiensi Anggaran Lahat Paling “Jempol”, Tapi Bukan untuk Dibelanjakan Sia-sia

Published

on

By

Oleh : Ishak Nasroni (Plt. Sekretaris SMSI Sumsel dan Pemred Lahathotline.com)

SETELAH resmi dilantik beberapa bulan lalu, Bupati Lahat Bursah Zarnubi, SE dan Wakil Bupati Lahat Widia Ningsih, SH, MH memulai aktivitasnya menjalankan roda pemerintahan selaku pemangku kebijakan di Bumi Seganti Setungguan. Salah satu kebijakan yang patut diacungi jempol dari program kerja Kabinet BZ-WIN adalah menginstruksikan kepada semua Stakeholder di semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lahat, agar “Ngirit” alias mengefisiensi Anggaran Daerah.

Tak dipungkiri kebijakan ini juga merupakan wujud kepatuhan BZ-WIN dalam mengikuti instruski Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang telah memotori kebijakan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti dituangkan dalam Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Beranjak dari regulasi tersebut, Pemerintahan BZ-WIN tak ragu untuk menerapkannya di Kabupaten Lahat. Bahkan berdasarkan penelusuran dari berbagai kanal internet, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lahat berani mengefisiensi APBDnya hingga merealokasi anggaran yang dilakukan mencapai Rp313 miliar dari total APBD sebesar Rp3,3 triliun. Ini adalah ‘Pengiritan” Anggaran yang sangat luar biasa dan patut diakui sebagai kebijakan efisiensi yang paling “Jempol”.

Sebagai seorang jurnalis sekaligus pengamat kebijakan daerah, penulis sangat mendukung program-program Kabinet BZ-WIN yang dikenal dangan jargonnya “Menata Kota Membangun Desa”. Tentunya, penataan kota dan pembangunan desa ini juga harus dibarengi dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di berbagai instansi terkait. Karenanya, Badan dan Dinas serta OPD lainnya mesti mampu menyusun strategi penataan dan pembangunan guna mewujudkan jargon tersebut.

Sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan SDM yang mumpuni, dipastikan para pegawai harus seimbang dengan berbagai regulasi dan perkembangan baru di tubuh instansinya. Namun demikian, dalam mendapatkan SDM yang memupuni tersebut tidak harus dengan mengadakan dan mengikuti Pelatihan atau Bimbingan Teknik (Bimtek) semata.

Anehnya pada Minggu, 27 April 2025 sampai Sabtu, 03 Mei 2025 untuk tahap awal sebanyak 92 Operator Desa di Kabupaten Lahat mengikuti pelatihan dan Bimtek Transaksi Non-Tunai yang dinakhodai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMDes) Kabupaten Lahat bekerja sama dengan Event Organizer (EO) Praja Sriwijaya berlokasi di Hotel Santika Kabupaten Lahat dan di Kota Malang, Jawa Timur.

Sementara untuk tahap berikutnya akan diselenggarakan pada pada Senin tanggal 9 Juni 2025 sampai dengan Minggu tanggal 15 Juni 2025 juga bertempat di Lahat dan Batu Malang Jawa Timur dengan peserta para Sekretaris Desa (Sekdes), Operator Siskeudes dan atau Perangkat yang membidangi.

Kendati biaya keberangkatan mengunakan Dana Desa lebih kurang Rp14.000.000 per peserta, namun uang yang digunakan tersebut tetap saja Uang Negara yang sudah ditransfer ke rekening desa dan selanjutnya disebut APBDes. Jika sudah menjadi APBDes, tak bisa dibantah bahwa itu Uang Rakyat di desa tersebut yang semata-mata mesti digunakan untuk kepentingan pembangunan desa secara fisik maupun non fisik.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 disebutkan bahwa Dana Desa harus digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pemanfaatan Dana Desa diatur lebih ketat melalui Peraturan Menteri Keuangan dan regulasi teknis lainnya, termasuk larangan penggunaan dana secara tidak efektif.

Jika disoroti dari aspek kepentingan kelancaran sistem keuangan desa, Bimtek ini sangat tidak perlu dilakukan. Karena untuk mendapatkan seorang perangkat yang mumpuni di bidangnya tidaklah susah. Kemudian apabila dipandang dari sisi kemanfaatan bagi pembangunan desa, juga sangat jauh mencapai dayagunanya bagi masyarakat desa secara umum. Bahkan dapat dikatakan, bahwa dana yang digunakan 14 juta yang dikutif dari APBDes tersebut adalah “Penyimpangan”.

Cara yang paling tepat dan efisien (Ngirit) dalam mengiringi kemajuan era degitalisasi dengan peralatan yang serba smart dan canggih sekarang ini, tidak susah Pemerintah Desa (Pemdes) di Kabupaten Lahat. Yaitu dengan melakukan rekrutmen perangkat secara selektif, tentunya SDM sudah menguasai bidang kerjanya masing-masing sehingga mampu untuk beradaptasi dalam setiap mengikuti kebijakan serta regulasi yang ada.

Untuk sekarang ini di setiap desa dipastikan banyak anak-anak muda bergelar Sarjana yang berprestasi, mampu mengoperasikan komputer dengan baik, mampu meginfut data-data keuangan dengan lancar. Hanya saja, pihak DPMDes dan Pemdes yang harus peka dalam menyerap setiap perubahan kebijakan Pemerintah Pusat. Setelah informasi perubahan kebijakan tersebut didapat oleh DPMDes dan Pemdes, maka segeralah beritahukan pada Perangkat Desanya untuk kemudian diterapkan di desa mereka.

Saya meyakini, kalau memang pihak Pemdes dan DPMDes mau melakukan langkah-langkah tersebut, maka tidak akan ada Dana Desa untuk membangun yang terbuang sia-sia terserap oleh biaya Pelatihan dan Bimtek, kecuali kegiatan tersebut sengaja didesaign hanya untuk mencapai keuntungan bagi sebagian pihak saja.

Dalam hal ini, tidak hanya persoalan yang tertuang pada narasi di atas saja yang perlu disikapi sedini mungkin oleh Bupati dan Wakil Bupati Lahat. Tapi mesti terus diingatkan pada semua OPD supaya tidak menggunakan dana sia-sia yang tidak mendesak serta berpotensi pada penyimpangan realisasi.

Apabila semua pihak terkait mengikuti instruksi Bupati dan Wakil Bupati tentang efisiensi sesuai dengan regulasi yang ada, maka dukungan terhadap Menata Kota Membangun Desa akan terwujud dengan tidak mengorbankan APBdes.

Akhir kata, saya selaku penulis menyampaikan pendapat ini tidak lain hanya untuk kebaikan Pemerintah dan Masyarakat Lahat semata. Tidak mendiskreditkan pihak lain, juga tidak mengandung unsur negatif.

Ditulis di Lahat : 2 Mei 2025

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Peringatan 30 Tahun Sistem Asuransi Kesehatan Nasional, Taiwan Tingkatkan Kesetaraan Kesehatan 

Published

on

By

 

Penulis Dr. Chiu Tai-yuan _ _ Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan_ _ ROC (Taiwan)

KESEHATAN adalah hak asasi manusia yang fundamental dan bernilai universal. Peningkatan derajat kesehatan menghasilkan kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakat serta berdampak pada kelangsungan hidup dan perkembangan suatu negara, bahkan dunia.
Pada Sidang ke-77 Majelis Kesehatan Dunia (WHA), para anggota mengadopsi Program Kerja Umum Keempat belas WHO untuk tahun 2025–2028. Program ini mencakup tujuan strategis seperti meningkatkan cakupan layanan kesehatan dan memperkuat perlindungan keuangan untuk memastikan tercapainya cakupan kesehatan semesta. WHO telah menyerukan kepada seluruh negara untuk mengambil tindakan terkait isu-isu ini.
Terkait cakupan kesehatan semesta, Taiwan meluncurkan sistem Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance/NHI) pada tahun 1995. Skema ini, yang mengintegrasikan berbagai skema asuransi berbasis pekerjaan yang sudah ada, kini telah mencapai tahun ke-30 dan mencakup 99,9 persen dari seluruh populasi.
Sistem NHI menyediakan layanan kesehatan yang adil, mudah diakses, dan efisien bagi seluruh masyarakat Taiwan. Sistem ini juga menjadi pilar penting bagi stabilitas sosial serta penjaga kesehatan dan keselamatan rakyat Taiwan.
Selain itu, NHI Taiwan telah menjadi tolok ukur global dalam mencapai cakupan kesehatan semesta. Dalam survei tahunan yang dilakukan oleh Numbeo, Taiwan menduduki peringkat pertama dalam kategori Indeks Layanan Kesehatan selama tujuh tahun berturut-turut.
NHI beroperasi dengan model pay-as-you-go yang berkelanjutan, mampu menghadapi tantangan keuangan akibat populasi yang menua dan meningkatnya biaya layanan kesehatan. Melalui reformasi tarif premi dan penambahan sumber pendanaan tambahan, seperti pungutan cukai kesehatan dan kesejahteraan dari produk tembakau, sistem ini berada dalam posisi keuangan yang kuat dan berkelanjutan.
Untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, Presiden Lai Ching-te pada tahun 2024 mengemukakan visi “Taiwan Sehat”, yang bertujuan memastikan bahwa rakyat sehat, negara kuat, dan dunia semakin siap menyambut Taiwan.
Dengan berfokus pada masyarakat, keluarga, dan komunitas, Taiwan memperluas kegiatan promosi kesehatan dan layanan kesehatan preventif. Selain itu, Taiwan juga menerapkan rencana dokter keluarga, menawarkan perawatan komprehensif bagi pasien dengan penyakit kronis, serta memanfaatkan telemedisin untuk meningkatkan akses layanan kesehatan di daerah pedesaan.
Dengan memajukan perawatan jangka panjang terintegrasi, perawatan paliatif (pendekatan yang dilakukan guna meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga pasien), dan konsep aging in place, kami memastikan pelayanan kesehatan seumur hidup yang holistik, bermartabat, dan mewujudkan kesetaraan kesehatan.
Pada tahun 2021, WHO merilis Strategi Global Kesehatan Digital 2020–2025. Di bawah rencana ini, badan kesehatan global tersebut mendorong pengembangan dan adopsi solusi kesehatan digital yang berpusat pada individu untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons penyakit menular.
WHO juga mengarahkan pembangunan infrastruktur dan aplikasi untuk memanfaatkan data kesehatan guna meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
Taiwan terus memanfaatkan keunggulannya dalam teknologi informasi dan komunikasi untuk membangun sistem dan layanan kesehatan yang efektif dan memiliki return on investment (ROI) tinggi.
Cloud NHI memfasilitasi pertukaran catatan medis yang lebih efisien, sementara adopsi standar internasional seperti Fast Healthcare Interoperability Resources (FHIR) memperkuat berbagi data medis lintas negara.
Selain itu, penggunaan teknologi AI (Artificial Intelligence) mempercepat pengembangan layanan kesehatan pintar. Pengenalan kartu asuransi kesehatan virtual dan aplikasi “My Health Bank”, yang memungkinkan pengelolaan data kesehatan pribadi secara real-time, memberdayakan masyarakat untuk membuat pilihan hidup yang lebih sehat.
Pada 2008, Taiwan memperkenalkan Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment) untuk mendorong pengambilan kebijakan berbasis bukti. Langkah ini juga mempercepat adopsi pengobatan baru dalam cakupan NHI.
Sebagai contoh, pada tahun 2023, terapi gen dan terapi sel dimasukkan dalam cakupan NHI untuk pertama kalinya, menandai era baru pengobatan presisi dan memberikan pilihan pengobatan yang lebih baik bagi pasien.
Taiwan juga terus memanfaatkan inovasi teknologi untuk meningkatkan lingkungan kerja tenaga medis dan memperkuat kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan.
Selain itu, meskipun menghadapi tantangan politik, Taiwan secara konsisten berpartisipasi dalam urusan kesehatan internasional dan berdedikasi dalam mendukung sistem kesehatan global.
Selama pandemi COVID-19, Taiwan memainkan peran penting dalam berbagi pasokan, strategi, dan pengalaman, serta membuktikan dirinya sebagai mitra terpercaya bagi berbagai negara di dunia.
Kisah sukses Taiwan dalam mewujudkan cakupan kesehatan semesta menawarkan pelajaran berharga bagi negara-negara lain. Saat Taiwan terus berbagi pengalaman tentang cakupan semesta, pengelolaan keuangan, dan kesehatan digital, Taiwan berharap dapat membantu negara-negara lain mencapai tujuan cakupan kesehatan semesta WHO.
Di era yang berubah dengan cepat ini, tantangan kesehatan melintasi batas negara, dan kerja sama global menjadi sangat penting untuk menghadapi berbagai krisis kesehatan. Namun sayangnya, Taiwan terus dicegah berpartisipasi dalam WHO—badan kerja sama kesehatan global terdepan—karena distorsi terus-menerus dari Resolusi Majelis Umum PBB 2758 dan Resolusi Sidang Kesehatan Dunia 25.1 oleh Tiongkok.
Kedua resolusi tersebut tidak pernah menyebut Taiwan atau menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Karena itu, resolusi tersebut tidak memiliki kekuatan untuk memberikan hak kepada RRT untuk mewakili Taiwan dalam WHO.
Mengingat hal tersebut, dan untuk menegakkan nilai-nilai inti PBB terkait inklusivitas dan universalitas, kami mendesak WHO dan seluruh pihak terkait untuk mengakui kontribusi besar Taiwan dalam membangun kesehatan masyarakat global dan memenuhi hak asasi manusia atas kesehatan.
Sangat penting bagi WHO untuk mengadopsi pendekatan yang lebih terbuka dan menunjukkan fleksibilitas, dengan berpegang pada prinsip profesionalisme dan inklusivitas. Taiwan harus diikutsertakan, sebagai langkah pragmatis, dalam Sidang Kesehatan Dunia dan seluruh pertemuan, kegiatan, serta mekanisme WHO, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian pandemi WHO.
Taiwan dengan sungguh-sungguh berharap dapat bekerja sama dengan komunitas internasional untuk menciptakan masa depan pelayanan kesehatan tanpa batas yang mewujudkan hak asasi manusia atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Konstitusi WHO dan visi “tidak meninggalkan siapa pun” yang diusung oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.
SMSI PUSAT
Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Published

on

By

Oleh Ichsanuddin Noorsy*

*Ichsanuddin Noorsy adalah Ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).

Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdagangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan “kader Washington” mengaminkan anjuran yang memaksa itu.

Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang.

Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. “Let the free market play,” begitulah propagandanya, dan semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui.

Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).

Menkeu JB Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah  mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998. Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali.

Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa.

Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.

Justru dengan peristiwa itu AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia.

Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA (Re: Noorsy, Prahara Bangsa, Desember 2024).

Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara. Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC.

Kemudian, walaupun sudah mendapatkan kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.

Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.

Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebiijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi.

Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Februari 2011).

Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015 disebutkan bahwa perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.

Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.

Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai — yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015 — justru membuahkan perlawanan Rusia dan China.

Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS. Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development.

Tampak bahwa goal (SDGs) dari Barat yang dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO adalah melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya. Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC.

Maka dedolarisasi tak terhindarkan. Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar  (SDGs) AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.

Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1, karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.

Tapi perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.

Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.

Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik, sementara krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.

Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat bahwa biaya perekonomian nasional AS dan upaya menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.

Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian.

Rasanya Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi, sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.

Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.

Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi).

Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi. Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. PHK pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah.

Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia. Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini.

Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indonesia bahwa “inward looking” (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal yang sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.

Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.

Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri.

Bagikan Berita :
Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!