Opini
Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Oleh Ichsanuddin Noorsy*
*Ichsanuddin Noorsy adalah Ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).
Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdagangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan “kader Washington” mengaminkan anjuran yang memaksa itu.
Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang.
Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. “Let the free market play,” begitulah propagandanya, dan semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui.
Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).
Menkeu JB Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998. Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali.
Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa.
Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.
Justru dengan peristiwa itu AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia.
Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA (Re: Noorsy, Prahara Bangsa, Desember 2024).
Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara. Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC.
Kemudian, walaupun sudah mendapatkan kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.
Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.
Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebiijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi.
Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Februari 2011).
Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015 disebutkan bahwa perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.
Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.
Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai — yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015 — justru membuahkan perlawanan Rusia dan China.
Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS. Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development.
Tampak bahwa goal (SDGs) dari Barat yang dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO adalah melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya. Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC.
Maka dedolarisasi tak terhindarkan. Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar (SDGs) AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.
Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1, karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.
Tapi perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.
Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.
Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik, sementara krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.
Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat bahwa biaya perekonomian nasional AS dan upaya menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.
Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian.
Rasanya Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi, sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.
Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.
Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi).
Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi. Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. PHK pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia. Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini.
Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indonesia bahwa “inward looking” (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal yang sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.
Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.
Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri.
Opini
Kabupaten Lahat 156 Tahun: “Ulang Tahun Atau Ulang-Ulang Masalah?”

Oleh: Muchtarim
*Pemerhati Pemerintahan dan Jurnalis di Kabupaten Lahat
Setiap tahun, Kabupaten Lahat merayakan pertambahan usia. Tahun ini, angka 156 menjadi simbol kebanggaan sekaligus, seharusnya, cermin untuk bercermin. Namun di tengah gegap gempita seremoni dan baliho bertebaran—yang kadang lebih mewah dari manfaatnya—saya justru ingin mengajak kita semua mengangkat cermin yang lebih jujur: cermin evaluasi.
Mari kita bertanya dengan sederhana: apakah Lahat yang hari ini lebih baik dari kemarin, atau kita sekadar pandai merayakan usia tanpa mengukur usia itu telah diisi dengan apa?
Saya tahu, kata “evaluasi” kadang terdengar menakutkan bagi mereka yang lebih suka berdansa di atas tumpukan laporan kegiatan ketimbang mengukur dampaknya. Tapi di usia 156 tahun, saya kira cukup sudah kita berpesta tanpa muhasabah.
Sebagai pemerhati dan jurnalis yang sudah cukup lama mengamati denyut birokrasi Lahat, izinkan saya menyentil dengan lembut—dan jika perlu, menyengat dengan elegan.
Program-program kita, sudahkah benar-benar menyentuh rakyat atau sekadar menyentuh anggaran? Kegiatan pemerintah, apakah makin menjangkau kepentingan masyarakat atau hanya menjangkau tender-tender musiman? Apakah pelayanan publik kita makin mudah, atau justru makin rumit seperti benang kusut dalam map bersegel?
Kalau memang slogan BZ-WIN adalah “Menata Kota, Membangun Desa”, saya mohon maaf, izinkan saya bertanya: yang ditata kotanya atau kepentingan para pejabatnya? Yang dibangun desa-desa atau rumah dinas dan perjalanan dinas?
Saya tentu berharap baik. Bahwa setiap program yang dijalankan membawa efek domino yang positif: ekonomi masyarakat meningkat, pajak masuk, pembangunan berjalan. Tapi mari kita sepakati, efek domino hanya terjadi bila dominonya berdiri tegak, bukan ditumpuk sembarangan.
Maka pada momen 156 tahun ini, saya ingin mengajak para ASN—yang katanya Aparatur Sipil Negara, tapi kadang terlalu santai negara—untuk memiliki rasa malu. Malu kalau titel panjang tapi inovasi pendek. Malu kalau gelar profesor, magister, doktor, tapi tak mampu memberi solusi dari tumpukan masalah klasik: jalan rusak, pelayanan lambat, dan data bantuan sosial yang entah dari mana asalnya.
Kepala Dinas, Kepala Bidang, kepala apa pun: mohon jangan sekadar jadi kepala yang berat di atas leher, tapi jadilah pemimpin yang punya gagasan. Jangan hanya pandai membuat laporan pertanggungjawaban, tapi gagal membuat perubahan.
Kabupaten Lahat 156 tahun, bukan angka kecil. Usia yang lebih dari cukup untuk beranjak dari budaya seremonial menuju budaya substansi. Jika tidak, Lahat akan terus berulang tahun, tapi masalah juga ikut ulang tahun bersamanya—dengan kue dan lilin yang sama: janji-janji dan retorika.
Selamat ulang tahun, Kabupaten Lahat. Semoga bukan hanya umur yang bertambah, tapi juga kesadaran untuk berubah.***
Opini
Taiwan Minta Dukungan Indonesia di Majelis Kesehatan Dunia (WHA)

Oleh Bruce Hung*
*Bruce Hung adalah Kepala Perwakilan Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO) untuk Indonesia.
Taiwan selama ini terus berpartisipasi aktif dalam isu-isu kesehatan global dan berkomitmen mendukung sistem kesehatan global, sebab kerjasama global semakin menjadi kunci dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan.
Maka, jika Taiwan bisa berpartisipasi aktif dalam Majelis Kesehatan Dunia (WHA) serta dalam pertemuan, kegiatan, dan mekanisme yang diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diharapkan lebih banyak negara dapat mencapai tujuan cakupan kesehatan universal yang dicanangkan WHO.
Sampai sejauh ini WHO masih memimpin pembangunan kesehatan masyarakat global dan merupakan organisasi internasional penting yang menjunjung tinggi hak kesehatan semua orang.
Kendati demikian, Tiongkok terus memutarbalikkan dua resolusi, yaitu Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2758 dan Resolusi WHA25.1. Kenyataannya, kedua resolusi tersebut samasekali tidak menyebutkan Taiwan atau Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok.
Resolusi itu juga tidak memberikan hak kepada Republik Rakyat Tiongkok untuk mewakili Taiwan di WHO, sehingga jika terus mengecualikan Taiwan, WHO tidak hanya mengabaikan hak kesehatan 23 juta rakyat Taiwan, tetapi juga menghambat upaya pencegahan, kesiapan, dan penanganan global terhadap keadaan darurat kesehatan masyarakat internasional.
Mitra di kawasan Indo-Pasifik
Taiwan dan Indonesia sendiri adalah mitra di kawasan Indo-Pasifik yang berbagi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. Hubungan kedua belah pihak sangat erat yang dibuktikan dengan pertukaran intens dan konstan pada level antar masyarakat.
Saat ini terdapat 400.000 pelajar dan pekerja migran Indonesia yang tinggal di Taiwan, dan lebih dari 20.000 warga negara Taiwan yang tinggal untuk bekerja dan berbisnis di Indonesia. Jumlah kunjungan wisatawan antara Taiwan dan Indonesia pun setiap tahunnya mencapai 500.000 orang.
Dalam hubungan ini, ketidakikutsertaan Taiwan dalam WHO dan partisipasinya dalam pertemuan dan mekanisme terkait tidak hanya merugikan rakyat Taiwan, tetapi juga kesejahteraan dan kesehatan Warga Negara Indonesia (WNI) di Taiwan.
Kerugian tersebut dikarenakan tidak adanya akses sewaktu-waktu terhadap sumber daya dan informasi terkait penyakit menular serta tidak dapat bergabung dengan rantai pasokan dan jaringan logistik kesehatan masyarakat global, sehingga hal ini dapat menimbulkan risiko dan celah dalam jaringan keamanan kesehatan masyarakat global.
Taiwan sendiri telah mencapai kemajuan dan kontribusi signifikan dalam meningkatkan kesehatan universal, sehingga siap untuk berbagi pengalaman dan keahlian ini dengan negara manapun di dunia.
Saat ini Rumah Sakit National Taiwan University dan Rumah Sakit Far Eastern Memorial telah melakukan berbagai program kerja sama dengan institusi medis di Indonesia, meliputi pelatihan tenaga medis, pertukaran akademisi, dan penelitian klinis.
Tak mengenal batas negara
Sejak Pemerintah Indonesia mulai mendorong rekam medis elektronik (Electronic Medical Record/EMR) pada 2022, lebih dari 80 persen rumah sakit telah menyelesaikan pembangunan dan pengembangan kebutuhan perangkat lunak serta aplikasi terkait, seperti smart medical care, biomedis, dan aplikasi kecerdasan buatan generatif (generative AI).
Bidang ini, khususnya perangkat medis pintar (smart medical equipment) merupakan area yang secara umum diunggulkan oleh startup di Taiwan.
Pemerintah Taiwan juga bersedia berbagi pengalaman dengan Indonesia, seperti layanan medis pintar (smart medical) dan pengalaman kesehatan masyarakat yang berkualitas serta menyediakan berbagai kursus profesional mencakup sistem jaminan kesehatan, manajemen medis, dan perawatan klinis.
Tentunya dengan harapan dapat memperkuat kerja sama medis bilateral Indonesia-Taiwan dan membantu pengembangan industri medis demi mewujudkan visi kesehatan universal di Indonesia.
Sementara itu dalam mengantisipasi pandemi di masa depan, WHO merevisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) pada 2024, dan diharapkan dapat mengadopsi Perjanjian Pandemi (Pandemic Agreement) pada sesi ke-78 ini guna mempercepat pembentukan kerangka tata kelola penyakit global yang lebih komprehensif.
Taiwan saat ini memang belum dapat bergabung dengan WHO dan berpartisipasi dalam pertemuan dan mekanisme terkait, sehingga tidak dapat berpartisipasi secara langsung. Namun Taiwan tetap ingin aktif bertukar ilmu dan pengalaman dalam menangani pandemi serta belajar dari negara lain.
Selama COVID-19 Taiwan banyak mengadopsi langkah-langkah penanganan dan pencegahan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, mahadata (big data), dan jaringan pengawasan.
Selain itu, Taiwan turut menyumbangkan peralatan dan kebutuhan medis seperti tabung oksigen, ventilator, masker, pakaian isolasi, termometer, dan peralatan pandemi lainnya kepada negara-negara sahabat seperti Indonesia.
Dalam beberapa dekade terakhir, Taiwan pun telah meningkatkan sistem perawatan kesehatan dan kesehatan masyarakatnya sesuai dengan rekomendasi WHO.
Hal itu dicapai dengan memperkuat Pelayanan Kesehatan Primer (primary health care) dan kesehatan gigi, mencegah dan mengendalikan penyakit menular ataupun tidak menular, meningkatkan cakupan kesehatan universal, dan memberikan kontribusi pada keamanan kesehatan global.
WHO sendiri adalah organisasi kesehatan masyarakat internasional terpenting. Namun, hak kesehatan 23 juta rakyat Taiwan masih diabaikan oleh WHO karena faktor politik. Sehubungan dengan itu Taiwan mengimbau WHO untuk mengakui kontribusi jangka panjang Taiwan terhadap keamanan kesehatan global dan hak asasi manusia di bidang kesehatan.
Taiwan juga mendesak WHO dan berbagai kalangan di Indonesia untuk bersikap lebih terbuka dan fleksibel, berpegang pada prinsip profesionalisme dan inklusivitas serta secara proaktif dan pragmatis mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam Majelis Kesehatan Dunia (WHA).
Tentunya termasuk ikut serta dalam pertemuan, kegiatan, serta mekanisme yang diselenggarakan oleh WHO, seperti Perjanjian Pandemi WHO yang masih dalam tahap negosiasi.
Taiwan menyatakan kesediaannya untuk bekerjasama dengan semua negara di dunia untuk bersama-sama mewujudkan visi “Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia Mendasar” yang tertuang dalam Konstitusi WHO dan “Tidak meninggalkan siapa pun” dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.
Bagaimanapun, seiring meningkatnya perubahan global, tantangan dan ancaman kesehatan publik tidak mengenal batas negara, dan kerja sama global semakin menjadi kunci dalam menghadapi berbagai krisis kesehatan.***
Opini
Efisiensi Anggaran Lahat Paling “Jempol”, Tapi Bukan untuk Dibelanjakan Sia-sia

Oleh : Ishak Nasroni (Plt. Sekretaris SMSI Sumsel dan Pemred Lahathotline.com)
SETELAH resmi dilantik beberapa bulan lalu, Bupati Lahat Bursah Zarnubi, SE dan Wakil Bupati Lahat Widia Ningsih, SH, MH memulai aktivitasnya menjalankan roda pemerintahan selaku pemangku kebijakan di Bumi Seganti Setungguan. Salah satu kebijakan yang patut diacungi jempol dari program kerja Kabinet BZ-WIN adalah menginstruksikan kepada semua Stakeholder di semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lahat, agar “Ngirit” alias mengefisiensi Anggaran Daerah.
Tak dipungkiri kebijakan ini juga merupakan wujud kepatuhan BZ-WIN dalam mengikuti instruski Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang telah memotori kebijakan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti dituangkan dalam Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.
Beranjak dari regulasi tersebut, Pemerintahan BZ-WIN tak ragu untuk menerapkannya di Kabupaten Lahat. Bahkan berdasarkan penelusuran dari berbagai kanal internet, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lahat berani mengefisiensi APBDnya hingga merealokasi anggaran yang dilakukan mencapai Rp313 miliar dari total APBD sebesar Rp3,3 triliun. Ini adalah ‘Pengiritan” Anggaran yang sangat luar biasa dan patut diakui sebagai kebijakan efisiensi yang paling “Jempol”.
Sebagai seorang jurnalis sekaligus pengamat kebijakan daerah, penulis sangat mendukung program-program Kabinet BZ-WIN yang dikenal dangan jargonnya “Menata Kota Membangun Desa”. Tentunya, penataan kota dan pembangunan desa ini juga harus dibarengi dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di berbagai instansi terkait. Karenanya, Badan dan Dinas serta OPD lainnya mesti mampu menyusun strategi penataan dan pembangunan guna mewujudkan jargon tersebut.
Sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan SDM yang mumpuni, dipastikan para pegawai harus seimbang dengan berbagai regulasi dan perkembangan baru di tubuh instansinya. Namun demikian, dalam mendapatkan SDM yang memupuni tersebut tidak harus dengan mengadakan dan mengikuti Pelatihan atau Bimbingan Teknik (Bimtek) semata.
Anehnya pada Minggu, 27 April 2025 sampai Sabtu, 03 Mei 2025 untuk tahap awal sebanyak 92 Operator Desa di Kabupaten Lahat mengikuti pelatihan dan Bimtek Transaksi Non-Tunai yang dinakhodai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMDes) Kabupaten Lahat bekerja sama dengan Event Organizer (EO) Praja Sriwijaya berlokasi di Hotel Santika Kabupaten Lahat dan di Kota Malang, Jawa Timur.
Sementara untuk tahap berikutnya akan diselenggarakan pada pada Senin tanggal 9 Juni 2025 sampai dengan Minggu tanggal 15 Juni 2025 juga bertempat di Lahat dan Batu Malang Jawa Timur dengan peserta para Sekretaris Desa (Sekdes), Operator Siskeudes dan atau Perangkat yang membidangi.
Kendati biaya keberangkatan mengunakan Dana Desa lebih kurang Rp14.000.000 per peserta, namun uang yang digunakan tersebut tetap saja Uang Negara yang sudah ditransfer ke rekening desa dan selanjutnya disebut APBDes. Jika sudah menjadi APBDes, tak bisa dibantah bahwa itu Uang Rakyat di desa tersebut yang semata-mata mesti digunakan untuk kepentingan pembangunan desa secara fisik maupun non fisik.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 disebutkan bahwa Dana Desa harus digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pemanfaatan Dana Desa diatur lebih ketat melalui Peraturan Menteri Keuangan dan regulasi teknis lainnya, termasuk larangan penggunaan dana secara tidak efektif.
Jika disoroti dari aspek kepentingan kelancaran sistem keuangan desa, Bimtek ini sangat tidak perlu dilakukan. Karena untuk mendapatkan seorang perangkat yang mumpuni di bidangnya tidaklah susah. Kemudian apabila dipandang dari sisi kemanfaatan bagi pembangunan desa, juga sangat jauh mencapai dayagunanya bagi masyarakat desa secara umum. Bahkan dapat dikatakan, bahwa dana yang digunakan 14 juta yang dikutif dari APBDes tersebut adalah “Penyimpangan”.
Cara yang paling tepat dan efisien (Ngirit) dalam mengiringi kemajuan era degitalisasi dengan peralatan yang serba smart dan canggih sekarang ini, tidak susah Pemerintah Desa (Pemdes) di Kabupaten Lahat. Yaitu dengan melakukan rekrutmen perangkat secara selektif, tentunya SDM sudah menguasai bidang kerjanya masing-masing sehingga mampu untuk beradaptasi dalam setiap mengikuti kebijakan serta regulasi yang ada.
Untuk sekarang ini di setiap desa dipastikan banyak anak-anak muda bergelar Sarjana yang berprestasi, mampu mengoperasikan komputer dengan baik, mampu meginfut data-data keuangan dengan lancar. Hanya saja, pihak DPMDes dan Pemdes yang harus peka dalam menyerap setiap perubahan kebijakan Pemerintah Pusat. Setelah informasi perubahan kebijakan tersebut didapat oleh DPMDes dan Pemdes, maka segeralah beritahukan pada Perangkat Desanya untuk kemudian diterapkan di desa mereka.
Saya meyakini, kalau memang pihak Pemdes dan DPMDes mau melakukan langkah-langkah tersebut, maka tidak akan ada Dana Desa untuk membangun yang terbuang sia-sia terserap oleh biaya Pelatihan dan Bimtek, kecuali kegiatan tersebut sengaja didesaign hanya untuk mencapai keuntungan bagi sebagian pihak saja.
Dalam hal ini, tidak hanya persoalan yang tertuang pada narasi di atas saja yang perlu disikapi sedini mungkin oleh Bupati dan Wakil Bupati Lahat. Tapi mesti terus diingatkan pada semua OPD supaya tidak menggunakan dana sia-sia yang tidak mendesak serta berpotensi pada penyimpangan realisasi.
Apabila semua pihak terkait mengikuti instruksi Bupati dan Wakil Bupati tentang efisiensi sesuai dengan regulasi yang ada, maka dukungan terhadap Menata Kota Membangun Desa akan terwujud dengan tidak mengorbankan APBdes.
Akhir kata, saya selaku penulis menyampaikan pendapat ini tidak lain hanya untuk kebaikan Pemerintah dan Masyarakat Lahat semata. Tidak mendiskreditkan pihak lain, juga tidak mengandung unsur negatif.
Ditulis di Lahat : 2 Mei 2025
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara