Connect with us

Opini

IMPIAN NEGARA “KESEJAHTERAAN”

Published

on

Oleh: Abrar Kharas

ASN Pemkab Lahat dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro.

Negara adalah sebuah keluarga besar tempat warga negara siapapun mereka harus diperlakukan sebagai anak-anak bangsa secara adil.

Mereka tidak boleh dibiarkan hidup-mati sendiri, melainkan harus dilindungi, dijaga martabatnya, serta diberi jaminan hidup sejahtera oleh Negara.

Seperti yang di tulis oleh Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul The Leviathan (1651), “government is a protector “, artinya disini tugas pemerintah adalah sebagai pelindung sekaligus penjamin hak-hak dasar masyarakat.

Kemudian dalam buku yang berjudul model dan desain negara kesejahteraan, Profesor Budi Setiyono menjelaskan, Negara Kesejahteraan adalah konsep pemerintahan dimana negara memainkan peran penting dalam perlindungan dan promosi kesejahteraan ekonomi dan sosial warga secara menyeluruh.

Masih dalam bukunya, Prof Budi Setiyono mengutip sosiolog Denmark Esping_Andersen tentang Welfare State yang membaginya menjadi tiga model, yakni, pertama, The Liberal Welfare State, merupakan model negara kesejahteraan yang bertumpu pada pasar dan penyediaan jasa oleh pihak swasta.

Posisi negara hadir dalam pelayanan-pelayanan ketika kondisi darurat seperti resesi ekonomi dan bencana alam. Prinsipnya, negara hanya memberikan perlindungan bagi warganya dalam rangka pengurangan kemiskinan.dan penyediaan kebutuhan dasar pada kejadian-kejadian, dan urgensi kehidupan.

Dalam model ini, negara hanya memberikan sedikit sekali bantuan dan jaminan sosial kepada warganya. Pelayanannya juga terbatas pada warganya yang terdampak kemiskinan, sedangkan kelas menengah tidak mendapatkan layanan ini.

Dengan demikian, model negara kesejahteraan liberal menyebabkan pembelahan antara kelas menengah dan kelas bawah. Akibat lain adalah, negara memberikan pada kelompok tertentu, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah atau masyarakat yang paling membutuhkan.

Sehingga, hal ini memerlukan kontrol ketat dari birokrasi pemerintah untuk menentukan siapa yang berhak dan tidak untuk menerima jaminan sosial dari negara.

Yang kedua adalah Negara Kesejahteraan Sosial Demokratik, sitem Negara kesejahteraan yang memberlakukan pelayanan universal pada seluruh warga negara untuk mengakses pelayanan secara setara tanpa memandang penghasilan dan tingkat ekonomi warga.

Pelayanan yang dimaksud merupakan jaminan sosial penyediaan pekerjaan, kesehatan, pendidikan melalui penyesuaian model perpajakan.

Sehingga, tanpa memandang kelas, seluruh warga negara dilayanani jaminan sosial untuk mencapai kesejahteraan yang dimaksud. Model ini merupakan perkembangan dari sosialisme yang juga mengakomodir kepentingan kelas menengah dalam pelayanan negara. Dan model ini banyak diterapkan di negara-negara Skandinavia “Nordic Model“.

Kemudian yang ketiga adalah model Kristian dari Negara Kesejahteraan merupakan model paling moderat. Dijelaskan Prof Budi Setiyono , model ini menerapkan prinsip subsidiarity atau desentralisasi dan dominasi skema asuransi-asuransi sosial.

Sekaligus, negara menawarkan alternatif jaminan sosial dan asuransi sesuai dengan tingkat ekonomi. Dengan kata lain, negara memberikan jaminan sosial kepada seluruh warga negara, namun demikian juga tetap memberikan kebebasan kepada warganya memilih untuk mendanai jaminannya sendiri.

Kemudian bagaiamana dengan Indonesia, sebenarnya Indonesia telah menerapkan Welfare State dalam berbagai bentuk, misalnya Bantuan Langsung Tunai, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Subsidi BBM, Subsidi Listrik, Program Wajib Belajar 12 tahun, Bantuan selama pandemi Covid-19, Program wajib belajar 12 tahun dan BOS untuk dunia pendidikan.

Semua itu merupakan upaya-upaya bagaimana Negara kita memainkan perannya untuk melindungi dan menjamain kesejahteraan masyarakatnya.

Namun demikian, kenapa Indonesia belum juga mencapai titik “ideal” dari negara kesejahteraan Ada beberapa urgensi rekomendasi agar upaya dan peran Negara dalam menghadiahi suatu kesejeahteraan kepada warga negarannya dapat lebih efesien :

Pertama, Adanya pembaruan bank data yang kuat, akurat dan berkala yang kemudian dijadikan data tunggal”. Dalam mengupayakan Negara kesejahteraan, tentu saja kita bergerak melalui data yang kuat, akurat dan berkala.

Bagaimana mungkin program dan kebijakan akan baik tanpa didasari data. Contoh di Kementrian Sosial baru-baru ini, ada 21 juta data ganda penerima bansos dinonaktifkan.

Bagaimana mungkin upaya hadirnya Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya akan optimal jika sasaran yang di berikan perlindungan dan jaminan justru tidak akurat.

Kedua, Negara harus mulai menyusun sistem keseimbangan antara kewajiban dan hak (obligations and rights) bagi warga Negara. Sudah seharusya kewajiban dan hak terkelola dalam satu kesatuan yang konektif dan resiprokal.

Negara belum menyediakan perangkat untuk memastikan setiap warga Negara yang melaksanakan kewajiban dengan baik akan diberi hak secara penuh.

Bahkan Negara belum mendefiniskan secara pasti apa saja yang menjadi kewajiban warga Negara dan apa saja yang menjadi hak yang akan diperoleh setelah melaksanakan kewajiban itu.

Hal ini juga yang menjadi faktor banyaknya warga negara yang seperti menyepelekan hukum, karena tidak ada konsekuensi akan kehilangan hak yang diberikan oleh negara apabila melanggar hukum.

Ketiga, Kolaborasi dan harmonisasi antara pemerintah dan warga negara. Seluruh negara yang sudah mencapai taraf kesejahteraan, lahir dari kerja sama yang baik antara pemerintah dan seluruh warga negaranya.

Tentu saja hal ini juga berlaku di Negara kita. Namun pada era “global village” saat ini, ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat memungkinkan lahirnya distrust kepada pemerintah.

Dampak selanjutnya dari adalah keacuhan masyarakat tersebut terhadap ketentuan dan kewajiban yang ada di Negara kita . Tentu saja hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan bernegara, terlebih jika kita memimpikan Negara yang sejahtera.

Serta yang terakhir, kelembagaan konektif. Dalam mewujudkan negara kesejahteraan tentu peran lembaga negara yang konektif harusnya bisa menjadi Grand Planning dalam upaya mewujudkan negara kesejahteraan.

Misalnya, dalam tahun 2020 Kabupaten Lahat melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengkonfirmasi akan ada lulusan x jumlah peserta didik. Tentu saja x jumlah peserta didik yang lulus tersebut akan masuk ke daftar pencari kerja.

Kemudian selanjutnya Dinas Ketenagakerjaan harus mampu mengantisipasi terhadap kebutuhan peluang lapangan pekerjaan baru sebanyak x jumlah peserta didik yang sudah lulus tsb.

Fungsi selanjutnya dari dinas ketenagakerjaan adalah bagaiamana membuat para pencari kerja baru ini, mempunyai kesiapan dan skill untuk terjun ke dunia kerja, misalnya dengan memberikan pelatihan dan pematangan skill.

Kemudiaan bagaimana untuk melahirkan peluang lapangan pekerjaan baru tersebut demi memenuhi kebutuhan para pencari kerja tersebut? Peran Dinas Perizinan dan Penanam Modal harus mampu merangsang dan mengupayakan pemunuhan kebutuhan tersebut dengan menarik investor, demi menghindari membludaknya angka pengangguran di wilayah itu.

*Referensi, Model & Desain Negara Kesejahteraan, 2018 oleh Prof Budi Setiyono, Ph.D.

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Seruan Dukungan Partisipasi Taiwan ICAO

Published

on

By

Oleh Chen Shih-kai*

*Chen Shih-kai adalah Menteri Perhubungan dan Komunikasi Repulic of China (Taiwan).

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menyelenggarakan Sidang Majelis setiap tiga tahun sekali. Forum ini menjadi wadah penting untuk melakukan pertemuan multilateral dan diskusi dalam merumuskan regulasi serta standar penerbangan sipil global.

Hasil keputusan Sidang Majelis dipatuhi oleh negara-negara anggota guna menjamin pertumbuhan penerbangan sipil internasional yang aman, tertib, dan berkelanjutan.

Sidang Majelis ICAO ke-42 dijadwalkan berlangsung pada 23 September hingga 3 Oktober 2025 di markas ICA) di Montreal, Kanada, dengan mengusung rencana strategis jangka panjang bertajuk “Safe Skies, Sustainable Future”.

ICAO menekankan komitmen untuk bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan, baik negara anggota, nonanggota, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun sektor swasta untuk membangun sistem penerbangan internasional yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Sejalan dengan tujuan tersebut, Taiwan menyerukan agar ICAO memberi kesempatan bagi partisipasi penuh Taiwan dalam Sidang Majelis, pertemuan teknis, dan mekanisme lainnya guna menjamin kebutuhan keselamatan dan pembangunan penerbangan regional, sekaligus mewujudkan langit yang aman menuju masa depan berkelanjutan.

Pentingnya FIR Taipei

Wilayah Informasi Penerbangan Taipei (Taipei FIR) mencakup salah satu jalur udara tersibuk di Asia Timur, dan merupakan bagian integral dari lebih dari 300 FIR dalam jaringan ICAO. Dalam kaitan ini, Otoritas Penerbangan Sipil Taiwan (CAA) merupakan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab mengawasi FIR Taipei.

CAA menyediakan layanan informasi penerbangan yang komprehensif serta mengelola rute udara demi menjamin keselamatan dan efisiensi semua penerbangan yang masuk, keluar, maupun transit melalui wilayah ini.

Dari perspektif manajemen risiko dan keselamatan, ICAO seharusnya memberi kesempatan kepada CAA untuk berpartisipasi, sejajar dengan otoritas pengelola FIR lainnya. Hal ini penting agar FIR Taipei dapat berkomunikasi langsung dengan FIR lain maupun dengan ICAO, sehingga arus informasi dapat tersampaikan secara cepat dan tepat.

Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok kerap mendeklarasikan zona bahaya sementara, melakukan reservasi wilayah udara, dan menetapkan area latihan militer di FIR Taipei, meski tidak memiliki kewenangan atas wilayah tersebut.

Langkah ini dilakukan tanpa memenuhi ketentuan ICAO mengenai pemberitahuan minimal tujuh hari sebelumnya, sehingga menimbulkan gangguan serius terhadap keselamatan penerbangan, baik di FIR Taipei maupun di FIR sekitarnya.

Komitmen Taiwan bagi Penerbangan Global

Industri penerbangan internasional saat ini menghadapi beragam tantangan, baik yang bersumber dari faktor alam maupun ulah manusia, seperti perubahan iklim, krisis energi, hingga ketegangan geopolitik global.

Taiwan yang mengelola lalu lintas padat di FIR Taipei berupaya konsisten menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam komunitas penerbangan internasional.

CAA telah meluncurkan Program Keselamatan Negara (State Safety Program), mengadopsi standar ICAO, serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk membangun sistem pengawasan keselamatan. Hasilnya, Taiwan mencatat kinerja keselamatan yang sangat baik.

Khusus pada periode 2020 – 2024, tingkat kecelakaan pesawat bermesin turbofan maupun turboprop mencapai nol kasus per sejuta penerbangan.

Industri penerbangan Taiwan juga memperoleh pengakuan global. EVA Air, misalnya, dinobatkan sebagai salah satu maskapai layanan penuh paling aman di dunia oleh AirlineRatings.com, dan menempati peringkat ketujuh maskapai paling aman pada 2025.

Selain itu, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, CAA telah memasukkan Skema Pengimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA) ke dalam hukum nasional, serta meluncurkan program percontohan bahan bakar penerbangan berkelanjutan pada April 2025.

Langkah ini menegaskan tekad Taiwan untuk berkontribusi nyata dalam transformasi menuju target nol emisi bersih. Tetapi, meski berbagai upaya telah dilakukan, akses Taiwan terhadap informasi penting masih terbatas karena tidak diizinkan mengikuti pertemuan teknis maupun pelatihan yang diselenggarakan ICAO.

Dalam kaitan ini, sudah seharusnya ICAO menjalankan prinsip “No One Left Behind” dengan membuka ruang partisipasi yang setara bagi Taiwan.

Momentum Penting Merangkul Taiwan

Keselamatan penerbangan tidak mengenal batas negara. Selama puluhan tahun, Taiwan melalui CAA konsisten menegakkan standar tertinggi dalam pelayanan dan keselamatan di FIR Taipei, sekaligus mematuhi standar serta rekomendasi ICAO.

Sebagai bagian dari komunitas penerbangan internasional, Taiwan memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga keselamatan penerbangan regional maupun global.

Partisipasi Taiwan dalam ICAO akan memungkinkan kolaborasi yang lebih erat dengan negara-negara lain, sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi perkembangan penerbangan global dan kesejahteraan umat manusia.

Dengan tema “Safe Skies, Sustainable Future”, Sidang Majelis ICAO ke-42 menjadi momentum penting bagi organisasi ini untuk merangkul Taiwan.

Melalui partisipasi yang bermakna, Taiwan dapat berbagi keahlian profesional demi mewujudkan visi ICAO, yakni menciptakan langit yang lebih aman sekaligus masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan.

CAA Taiwan berkomitmen bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mengimplementasikan Standar dan Praktik yang Direkomendasikan (SARPs).

SMSI PUSAT

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Kapolri Mendahului Atau “Melawan” Presiden?

Published

on

By

Prof Henri Subiakto – Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia

Presiden Prabowo sedang menyiapkan agenda reformasi Polri sebagai respon tuntutan publik pasca-demo besar pada Agustus 2025.

Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang dikenal tegas, termasuk pernah menangani kasus Ferdy Sambo dan sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas serta Reformasi Kepolisian, sebelum dilantik, telah dinaikkan pangkatnya secara istimewa menjadi Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat).

Penunjukan itu disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang melibatkan tokoh luar seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk evaluasi menyeluruh.

Sementara Kapolri Listyo Sigit merespons cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal pada hari yang sama melalui Surat Perintahnya. Tim ini beranggotakan 52 perwira, diketuai Komjen Chryshnanda Dwilaksana dengan Listyo Sigit sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.

Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di pemerintahan Prabowo, upaya reformasi Polri jadi uji coba keseimbangan kekuasaan antara presiden, Polri,  genk Solo dan tuntutan publik.

Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya (lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989), jadi sinyal kuat, Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi secara langsung dari Istana.

Secara politik, akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin tegas yang ingin “membersihkan” institusi Polisi dari warisan  presiden Jokowi (di mana Listyo diangkat karena kedekatannya sejak dari Solo).

Kenaikan pangkat Jenderal Dofiri juga bisa dibaca sebagai sikap politik yg memilih loyalis di luar loyalis Listyo, mengingat Dofiri lebih senior dan dikenal tegas dan bukan gerbong yang dibina Listyo Sigit.

Dengan adanya Pembentukan tim internal Polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi dilihat sebagai langkah proaktif Polri “sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar, namun juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.

Ini upaya para pimpinan Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nantinya tidak “mengganggu” struktur hirarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.

Ini juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dengan Kapolri Listyo Sigit yg tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, namun di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai  sebagai upaya perlindungan posisi Kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.

Karena jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.

Tim internal bisa bermakna “pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana mana.

Reformasi institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Serta datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan berpendapat.

Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan  tidak tegas, lebih banyak omon omon.

Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda  soliditas kekuasaan Presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029.

Tapi keinginan politik itu nampaknya ada yang tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.

Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, “menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.

OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri sendiri karena memiliki  tujuan dan inisiator yang berbeda.*** (SMSI Pusat)

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Published

on

By

Oleh: Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas. Sebab RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan. Hal ini karena adanya beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.

RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.

Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.

Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.

Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.

Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini membalik beban pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.

Karena itu, saya menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari Istilah ‘tidak seimbang’, di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.

Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.

Begitu pula proses perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.

Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Kategori

Advertisement
Advertisement

Populer

error: Content is protected !!