Opini
BINA ETIKA DAN HUKUM: BUDAYA PUNGLI, HARUS DIBASMI

OLEH : HM Goerillah TAN (Pemerhati Lingkungan)
Pengantar: Sesuai tema Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2020 lalu, yakni “Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Antikorupsi”.
Ketua KPK RI telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 30/2020 berupa himbauan Penyelenggaraan Kegiatan Hakordia.
Untuk itu Partisipasi penulis mencoba menyoroti akar permasalahannya, semoga bermanfaat. Terima kasih.
BUDAYA yang merupakan alat ukur bagi kemajuan suatu bangsa telah diisyaratkan oleh Rasullulah Muhammad, SAW dalam salah satu pesannya “ tuntutlah ilmu, sampai kenegeri China “.
Berarti, begitu telah terkenalnya negeri yang satu ini pada 14 abad yang lalu, sampai-sampai Baginda Rasul mengeluarkan pesan penting bagi ummatnya, agar selalu belajar dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, bahkan kalau perlu harus menyeberang lautan nun jauh disana.
Bisa dibayangkan kala itu, negeri China dibelahan bumi paling Timur yang untuk mencapainya perlu transportasi (yang kala itu) hanya ada kapal laut, tentu tidak mudah.
Namun pesan Rasul itu ternyata mampu dilaksanakan oleh para sahabat dan pengikutnya, melalui usaha berdagang sambil menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah yang penuh kedamaian.
Dengan kapal-kapal laut berlayar kepelosok negeri sehingga terjadi interaksi sosial yang berkelanjutan sehingga secara tidak disadari terjadi pula pertukaran budaya antar bangsa.
Penyebaran agama Islam yang terkenal di Nusantara, adalah melalui saudagar-saudagar Arab dari Gujarat yang telah memeluk Islam. Berlayarlah mereka kepelosok negeri, antara lain mendaratkan kapal-kapal dagang dari Gujarat itu ke Swarna Dwipa.
Seperti di Aceh dan tanah Jawa penyebaran agama dan budaya Islam terjadi dan berkembang pesat hingga terbentuklah kerajaan Islam yang peninggalan masa kejayaannya terbukti masih ada hingga kini seperti Samudra Pasai, Sultan Iskandar Muda dll.
Di Banda Aceh ada peninggalan sejarah berupa Lonceng Cakra Donya yang merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho.
Dari kedua rumpun bangsa (Arab dan China) yang datang ke Nusantara pada dasarnya memberikan pengetahuan dan ajaran filosofis tentang achlaq dan tata cara dalam berdagang didasari kesucian dan kejujuran untuk memperoleh keuntungan yang wajar.
Masing-masing bersumber dari ajaran agamanya masing-masing yang mengakar dalam kehidupannya sehari-hari.
Dan tidak ada sedikitpun ajaran agama yang suci itu membolehkan cara-cara menyimpang bahkan sistem jual beli secara Islam dan membayar zakat dilengkapi dengan ikrar ijab qobul yang jelas, berarti sama-sama ikhlas. Jelas dalam konteks ini diajarkan etika jual beli bersyariat hukum agama yang merupakan ibadah yang sakral, bukan main-main.
BERBAHAYANYA SETORAN
Yang tentu saja secara semantik didifinisikan orang sebagai penyampaian uang atau barang dari kaum rendahan kepada kaum yang lebih tinggi yang zaman dulu disebut upeti.
Atau lebih kongkrit lagi (secara positif) dapat diartikan kini sebagai suatu kewajiban warga negara kepada pemerintah.
Ambil contoh; setoran pajak, atau cukai tembakau misalnya, hal itu merupakan penyampaian kewajiban suatu badan (perusahaan misalnya) atau individu kepada pemerintah sehingga hasil pengumpulan setoran pajak ini akan menjadi salah satu unsur pendapatan asli daerah.
Maupun pemerintah pusat yang kelak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk program pembangunan infra struktur dll. Terbukti dengan setoran pajak, cukai tembakau dll menjadi andalan pembangunan.
Dengan demikian maka istilah setoran disini, positip bentuknya dan sesuatu yang positip tentu saja perlu didukung dasar hukum dan aturan yang jelas sehingga perlu dituangkan dalam undang-undang yang dilengkapi juga dengan berbagai penjelasan maupun peraturan pemerintah sebagai juklak dan juknisnya.
Namun berbeda halnya dengan bentuk setoran yang dikategorikan pungutan liar (pungli) yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Hal ini terbukti banyak dipraktekkan oleh para oknum pejabat di instansi dan lembaga formal maupun di lembaga-lembaga non formal yang umumnya dalam bentuk aturan “khusus” yang tidak jelas.
Awalnya hanya semacam saling pengertian saja, antara seorang bawahan kepada atasan misalnya. Bahwa, untuk dapat menduduki jabatan tertentu harus mampu menyetorkan sejumlah uang atau barang jenis lain sebagai substitusinya.
Misalnya uang dapat diganti dengan barang kasar (barang berharga beneran) atau dapat juga dengan barang halus (wanita beneran). Dan hal ini telah menjadi budaya buruk dilapisan-lapisan tertentu.
Bahkan ukuran keberhasilan seseorangpun tidak lagi didasarkan kepada prestasi, melainkan setorannya lah sebagai ukuran.
Boleh jadi sesorang karyawan itu mampu menyelesaikan suatu kerja proyek dengan menghemat anggaran, justru dia belakangan sekali naik pangkat dan bukan tidak mungkin bisa-bisa karena hemat anggaran dan nihil setoran akan mendapat meja kosong alias non job.
Dan di lembaga tertentu bahkan dipraktekkan ilmu “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, ada pula yang menerapkan “gantung palu” untuk suatu pengesahan APBD misalnya, maka merebaklah praktek suap tanpa malu-malu lagi.
Kalau sudah begini budaya malu hilang, dan yang dikejar semata-mata uang. Walau dibanyak tempat terpampang poster yang berisi slogan yang mengharamkan suap atau setoran tapi semua itu tetap berjalan lancar menjadi kebiasaan, untuk menjadi koruptor.
SETORAN, ALA PASAR TANAH ABANG
Pola dagang barang-barang di pasar kulakan terbesar di Jakarta itu, menerapkan symbol-symbol yang tidak semua orang mengerti.
Selintas terdengar lucu, ayo-ayo bapak ibu “atasan seratus, bawahan limapuluh” dan ternyata hal ini punya makna tersendiri, bahwa baju (blous) bagian atas seharga seratus ribu rupiah, tapi untuk baju rock bawah dihargai lima puluh ribu saja.
Terutama ibu-ibu yang sering berbelanja di Tanah Abang sangat mengerti, bahwa yang dimaksud (ditawarkan) oleh sipenjual pakaian jadi itu demikianlah adanya. Bahwa harga atasan dan bawahan tidak sama alias berlainan kelas.
Penerapan setoran tentu mengikuti trend Tanah Abang zaman now sekarang ini, biasanya pembagian setoran tidak mutlak sama.
Persis gaya Tanah Abang, bila untuk atasan (Boz atau Ketua) 100 % tapi untuk bawahannya (Anggota) cukup separuhnya saja alias 50 % nya.
Dan yang kita pernah dengar pula dalam persidangan korupsi terungkap kalau setoran dalam mata uang dolar Amerika disebut dengan Apel Amerika, namun bila setoran dalam bentuk nilai rupiah cukup dengan sebutan Apel Malang.
Demikian juga untuk kreatifitas penyamaran nama penerima maupun pemberi setoran. Agar susah ditebak oleh lembaga anti rasuah agar sulit terlacak jika telephone keduanya disadap, maka istilah-istilah keren seperti Mike Ghifer, Superman, Spiderman, Kapten Amerika, Badman dan lain sebagainya digunakan.
Pepatah lama mengatakan, sepandai-pandainya tupai meloncat namun sekali waktu jatuh juga. Dan kini telah terbukti bahwa, banyak pejabat daerah (dari Gubernur hingga Walikota) tertangkap tangan terima suap pengurusan izin lokasi.
Ketua dan Anggota lembaga tertentu tersandung masalah gratifikasi uang ketok palu, Hakim dan Panitera tertangkap tangan oleh KPK terima suapan dana dari yang berperkara dan sebagainya.
Bahkan belakangan banyak yang kena ciduk KPK gara-gara pengakuan dan kesaksian terdakwa korupsi yang menyanyi merdu setelah berpredikat Justice Collaborator (JC). Hikmahnya jelas, bak menangkap ikan tapah dengan umpannya anak lele sangatlah tepat diterapkan.
PERLUNYA REVOLUSI MENTAL
Dalam suatu organisasi, apakah dalam bidang politik, pemerintahan maupun perusahaan baik plaat merah, kuning maupun plaat hitam budaya setoran ini menjadi ukuran berhasil tidaknya seseorang menduduki jabatan basah di strata yang anggarannya besar.
Penerapan budget oriented seakan memaksa agar anggaran yang telah disetujui Pemerintah atau Direksi perusahaan harus habis dalam waktu satu tahun anggaran berjalan.
Walau secara jujur, terbuka dan jelas untuk jabatan tertentu, memerlukan keahlian maupun kopetensi tertentu namun semua itu bisa di kalahkan oleh keahlian seseorang itu “mencarikan dan menyetorkan” uang atau barang itu tadi.
Dan bahkan, saking nekatnya kadang-kadang ada oknum tertentu mengabaikan resiko jabatan yang boleh jadi akan ada sanksi pidananya.
Rupanya gaji besar yang telah diberikan oleh negara atau oleh perusahaan tempat dia bekerja tidak menjamin seseorang itu jujur dan tidak korupsi.
Karena telah ada beberapa orang menteri, gubernur, bupati, walikota, direktur yang terkena OTT oleh KPK selama tahun 2020 saja benar-benar menjadi bukti, bahwa budaya pungli atau lebih keren lagi sebagai budaya “pemburu fee” merupakan penyakit mental yang harus dikikis habis.
Dengan rompi oranye mereka digiring aparat KPK kemobil tahanan namun dari wajah, penampilan dan ucapannya mereka seakan tidak berdosa, dan selalu berusaha mencari pembenaran semu.
Ternyata kejujuran dan mental tidak korupsi itu menjadi barang langka sekarang ini dan bahkan keberadaanya akan dimusuhi oleh oknum koruptor.
Sehingga suburnya praktek korupsi ini dimana-mana dan akan semakin ampuh jika lapisan atas organisasi (atasan) memang senang dan menginginkaan setoran dari bawahannya.
Dan tidak usah heran jika kelompok korup ini berhimpun dalam satu kesatuan yang organisasinya sulit dimasuki orang lain yang tidak “sepaham” dan tidak sealiran korup. Fungsi internal audit kadang kala menjadi tumpul, karena kelompok ini punya cara-cara jitu menaklukkannya.
Hanya saja kurang elok jika perbuatan jelek semacam ini disebut berjamaah. Lebih paas kalau mereka disebut pelaku “keroyokan” dalam mengemplang uang rakyat.
Negara akan aman dan fokus mensejahterakan rakyatnya jika pemimpinnya amanah memegang janji dan sumpah. Sehingga semboyan : “kerja, yes. Setoran, No !” itulah yang harus dibudayakan sebagai prinsip.
Syarat integritas seseorang untuk diangkat dan menduduki jabatan tertentu adalah mutlak, dan bukan hanya ditunjukkan kepada secarik kertas yang bernama “Fakta Integritas” itu saja tapi benar-benar rekam jejaknya bahwa Ybs itu benar-benar bersih merupakan hal yang tidak dapat ditawar.
Bila ahlaqnya bersih, perbuatannya bersih dan insyaAllah hasilnya juga bersih. Uang rakyat harus kembali kepada rakyat, dan itu merupakan amanat dalam gerakan revolusi mental.
Untunglah negara kita saat ini dipimpin oleh seorang-“nachoda” yang bersih, dan untung pula ada KPK sebagai lembaga anti rasuah yang sangat perlu kita dukung usaha dan perjuangannya guna melenyapkan budaya setoran (pungli) yang menjadi momok kehancuran bangsa dengan lebih giat Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Antikorupsi***). Goeril
Opini
Seruan Dukungan Partisipasi Taiwan ICAO

Oleh Chen Shih-kai*
*Chen Shih-kai adalah Menteri Perhubungan dan Komunikasi Repulic of China (Taiwan).
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menyelenggarakan Sidang Majelis setiap tiga tahun sekali. Forum ini menjadi wadah penting untuk melakukan pertemuan multilateral dan diskusi dalam merumuskan regulasi serta standar penerbangan sipil global.
Hasil keputusan Sidang Majelis dipatuhi oleh negara-negara anggota guna menjamin pertumbuhan penerbangan sipil internasional yang aman, tertib, dan berkelanjutan.
Sidang Majelis ICAO ke-42 dijadwalkan berlangsung pada 23 September hingga 3 Oktober 2025 di markas ICA) di Montreal, Kanada, dengan mengusung rencana strategis jangka panjang bertajuk “Safe Skies, Sustainable Future”.
ICAO menekankan komitmen untuk bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan, baik negara anggota, nonanggota, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun sektor swasta untuk membangun sistem penerbangan internasional yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Sejalan dengan tujuan tersebut, Taiwan menyerukan agar ICAO memberi kesempatan bagi partisipasi penuh Taiwan dalam Sidang Majelis, pertemuan teknis, dan mekanisme lainnya guna menjamin kebutuhan keselamatan dan pembangunan penerbangan regional, sekaligus mewujudkan langit yang aman menuju masa depan berkelanjutan.
Pentingnya FIR Taipei
Wilayah Informasi Penerbangan Taipei (Taipei FIR) mencakup salah satu jalur udara tersibuk di Asia Timur, dan merupakan bagian integral dari lebih dari 300 FIR dalam jaringan ICAO. Dalam kaitan ini, Otoritas Penerbangan Sipil Taiwan (CAA) merupakan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab mengawasi FIR Taipei.
CAA menyediakan layanan informasi penerbangan yang komprehensif serta mengelola rute udara demi menjamin keselamatan dan efisiensi semua penerbangan yang masuk, keluar, maupun transit melalui wilayah ini.
Dari perspektif manajemen risiko dan keselamatan, ICAO seharusnya memberi kesempatan kepada CAA untuk berpartisipasi, sejajar dengan otoritas pengelola FIR lainnya. Hal ini penting agar FIR Taipei dapat berkomunikasi langsung dengan FIR lain maupun dengan ICAO, sehingga arus informasi dapat tersampaikan secara cepat dan tepat.
Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok kerap mendeklarasikan zona bahaya sementara, melakukan reservasi wilayah udara, dan menetapkan area latihan militer di FIR Taipei, meski tidak memiliki kewenangan atas wilayah tersebut.
Langkah ini dilakukan tanpa memenuhi ketentuan ICAO mengenai pemberitahuan minimal tujuh hari sebelumnya, sehingga menimbulkan gangguan serius terhadap keselamatan penerbangan, baik di FIR Taipei maupun di FIR sekitarnya.
Komitmen Taiwan bagi Penerbangan Global
Industri penerbangan internasional saat ini menghadapi beragam tantangan, baik yang bersumber dari faktor alam maupun ulah manusia, seperti perubahan iklim, krisis energi, hingga ketegangan geopolitik global.
Taiwan yang mengelola lalu lintas padat di FIR Taipei berupaya konsisten menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam komunitas penerbangan internasional.
CAA telah meluncurkan Program Keselamatan Negara (State Safety Program), mengadopsi standar ICAO, serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk membangun sistem pengawasan keselamatan. Hasilnya, Taiwan mencatat kinerja keselamatan yang sangat baik.
Khusus pada periode 2020 – 2024, tingkat kecelakaan pesawat bermesin turbofan maupun turboprop mencapai nol kasus per sejuta penerbangan.
Industri penerbangan Taiwan juga memperoleh pengakuan global. EVA Air, misalnya, dinobatkan sebagai salah satu maskapai layanan penuh paling aman di dunia oleh AirlineRatings.com, dan menempati peringkat ketujuh maskapai paling aman pada 2025.
Selain itu, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, CAA telah memasukkan Skema Pengimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA) ke dalam hukum nasional, serta meluncurkan program percontohan bahan bakar penerbangan berkelanjutan pada April 2025.
Langkah ini menegaskan tekad Taiwan untuk berkontribusi nyata dalam transformasi menuju target nol emisi bersih. Tetapi, meski berbagai upaya telah dilakukan, akses Taiwan terhadap informasi penting masih terbatas karena tidak diizinkan mengikuti pertemuan teknis maupun pelatihan yang diselenggarakan ICAO.
Dalam kaitan ini, sudah seharusnya ICAO menjalankan prinsip “No One Left Behind” dengan membuka ruang partisipasi yang setara bagi Taiwan.
Momentum Penting Merangkul Taiwan
Keselamatan penerbangan tidak mengenal batas negara. Selama puluhan tahun, Taiwan melalui CAA konsisten menegakkan standar tertinggi dalam pelayanan dan keselamatan di FIR Taipei, sekaligus mematuhi standar serta rekomendasi ICAO.
Sebagai bagian dari komunitas penerbangan internasional, Taiwan memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga keselamatan penerbangan regional maupun global.
Partisipasi Taiwan dalam ICAO akan memungkinkan kolaborasi yang lebih erat dengan negara-negara lain, sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi perkembangan penerbangan global dan kesejahteraan umat manusia.
Dengan tema “Safe Skies, Sustainable Future”, Sidang Majelis ICAO ke-42 menjadi momentum penting bagi organisasi ini untuk merangkul Taiwan.
Melalui partisipasi yang bermakna, Taiwan dapat berbagi keahlian profesional demi mewujudkan visi ICAO, yakni menciptakan langit yang lebih aman sekaligus masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan.
CAA Taiwan berkomitmen bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mengimplementasikan Standar dan Praktik yang Direkomendasikan (SARPs).
SMSI PUSAT
Opini
Kapolri Mendahului Atau “Melawan” Presiden?

Prof Henri Subiakto – Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia
Presiden Prabowo sedang menyiapkan agenda reformasi Polri sebagai respon tuntutan publik pasca-demo besar pada Agustus 2025.
Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang dikenal tegas, termasuk pernah menangani kasus Ferdy Sambo dan sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas serta Reformasi Kepolisian, sebelum dilantik, telah dinaikkan pangkatnya secara istimewa menjadi Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat).
Penunjukan itu disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang melibatkan tokoh luar seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk evaluasi menyeluruh.
Sementara Kapolri Listyo Sigit merespons cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal pada hari yang sama melalui Surat Perintahnya. Tim ini beranggotakan 52 perwira, diketuai Komjen Chryshnanda Dwilaksana dengan Listyo Sigit sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.
Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di pemerintahan Prabowo, upaya reformasi Polri jadi uji coba keseimbangan kekuasaan antara presiden, Polri, genk Solo dan tuntutan publik.
Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya (lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989), jadi sinyal kuat, Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi secara langsung dari Istana.
Secara politik, akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin tegas yang ingin “membersihkan” institusi Polisi dari warisan presiden Jokowi (di mana Listyo diangkat karena kedekatannya sejak dari Solo).
Kenaikan pangkat Jenderal Dofiri juga bisa dibaca sebagai sikap politik yg memilih loyalis di luar loyalis Listyo, mengingat Dofiri lebih senior dan dikenal tegas dan bukan gerbong yang dibina Listyo Sigit.
Dengan adanya Pembentukan tim internal Polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi dilihat sebagai langkah proaktif Polri “sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar, namun juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.
Ini upaya para pimpinan Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nantinya tidak “mengganggu” struktur hirarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.
Ini juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dengan Kapolri Listyo Sigit yg tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, namun di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai sebagai upaya perlindungan posisi Kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.
Karena jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.
Tim internal bisa bermakna “pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana mana.
Reformasi institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Serta datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan berpendapat.
Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan tidak tegas, lebih banyak omon omon.
Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda soliditas kekuasaan Presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029.
Tapi keinginan politik itu nampaknya ada yang tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.
Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, “menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.
OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri sendiri karena memiliki tujuan dan inisiator yang berbeda.*** (SMSI Pusat)
Opini
5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Oleh: Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas. Sebab RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan. Hal ini karena adanya beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.
RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.
Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.
Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.
Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.
Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.
Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini membalik beban pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.
Karena itu, saya menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari Istilah ‘tidak seimbang’, di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.
Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.
Begitu pula proses perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.
Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.***
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara