Connect with us

Opini

Peringatan 30 Tahun Sistem Asuransi Kesehatan Nasional, Taiwan Tingkatkan Kesetaraan Kesehatan 

Published

on

 

Penulis Dr. Chiu Tai-yuan _ _ Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan_ _ ROC (Taiwan)

KESEHATAN adalah hak asasi manusia yang fundamental dan bernilai universal. Peningkatan derajat kesehatan menghasilkan kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakat serta berdampak pada kelangsungan hidup dan perkembangan suatu negara, bahkan dunia.
Pada Sidang ke-77 Majelis Kesehatan Dunia (WHA), para anggota mengadopsi Program Kerja Umum Keempat belas WHO untuk tahun 2025–2028. Program ini mencakup tujuan strategis seperti meningkatkan cakupan layanan kesehatan dan memperkuat perlindungan keuangan untuk memastikan tercapainya cakupan kesehatan semesta. WHO telah menyerukan kepada seluruh negara untuk mengambil tindakan terkait isu-isu ini.
Terkait cakupan kesehatan semesta, Taiwan meluncurkan sistem Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance/NHI) pada tahun 1995. Skema ini, yang mengintegrasikan berbagai skema asuransi berbasis pekerjaan yang sudah ada, kini telah mencapai tahun ke-30 dan mencakup 99,9 persen dari seluruh populasi.
Sistem NHI menyediakan layanan kesehatan yang adil, mudah diakses, dan efisien bagi seluruh masyarakat Taiwan. Sistem ini juga menjadi pilar penting bagi stabilitas sosial serta penjaga kesehatan dan keselamatan rakyat Taiwan.
Selain itu, NHI Taiwan telah menjadi tolok ukur global dalam mencapai cakupan kesehatan semesta. Dalam survei tahunan yang dilakukan oleh Numbeo, Taiwan menduduki peringkat pertama dalam kategori Indeks Layanan Kesehatan selama tujuh tahun berturut-turut.
NHI beroperasi dengan model pay-as-you-go yang berkelanjutan, mampu menghadapi tantangan keuangan akibat populasi yang menua dan meningkatnya biaya layanan kesehatan. Melalui reformasi tarif premi dan penambahan sumber pendanaan tambahan, seperti pungutan cukai kesehatan dan kesejahteraan dari produk tembakau, sistem ini berada dalam posisi keuangan yang kuat dan berkelanjutan.
Untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, Presiden Lai Ching-te pada tahun 2024 mengemukakan visi “Taiwan Sehat”, yang bertujuan memastikan bahwa rakyat sehat, negara kuat, dan dunia semakin siap menyambut Taiwan.
Dengan berfokus pada masyarakat, keluarga, dan komunitas, Taiwan memperluas kegiatan promosi kesehatan dan layanan kesehatan preventif. Selain itu, Taiwan juga menerapkan rencana dokter keluarga, menawarkan perawatan komprehensif bagi pasien dengan penyakit kronis, serta memanfaatkan telemedisin untuk meningkatkan akses layanan kesehatan di daerah pedesaan.
Dengan memajukan perawatan jangka panjang terintegrasi, perawatan paliatif (pendekatan yang dilakukan guna meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga pasien), dan konsep aging in place, kami memastikan pelayanan kesehatan seumur hidup yang holistik, bermartabat, dan mewujudkan kesetaraan kesehatan.
Pada tahun 2021, WHO merilis Strategi Global Kesehatan Digital 2020–2025. Di bawah rencana ini, badan kesehatan global tersebut mendorong pengembangan dan adopsi solusi kesehatan digital yang berpusat pada individu untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons penyakit menular.
WHO juga mengarahkan pembangunan infrastruktur dan aplikasi untuk memanfaatkan data kesehatan guna meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
Taiwan terus memanfaatkan keunggulannya dalam teknologi informasi dan komunikasi untuk membangun sistem dan layanan kesehatan yang efektif dan memiliki return on investment (ROI) tinggi.
Cloud NHI memfasilitasi pertukaran catatan medis yang lebih efisien, sementara adopsi standar internasional seperti Fast Healthcare Interoperability Resources (FHIR) memperkuat berbagi data medis lintas negara.
Selain itu, penggunaan teknologi AI (Artificial Intelligence) mempercepat pengembangan layanan kesehatan pintar. Pengenalan kartu asuransi kesehatan virtual dan aplikasi “My Health Bank”, yang memungkinkan pengelolaan data kesehatan pribadi secara real-time, memberdayakan masyarakat untuk membuat pilihan hidup yang lebih sehat.
Pada 2008, Taiwan memperkenalkan Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment) untuk mendorong pengambilan kebijakan berbasis bukti. Langkah ini juga mempercepat adopsi pengobatan baru dalam cakupan NHI.
Sebagai contoh, pada tahun 2023, terapi gen dan terapi sel dimasukkan dalam cakupan NHI untuk pertama kalinya, menandai era baru pengobatan presisi dan memberikan pilihan pengobatan yang lebih baik bagi pasien.
Taiwan juga terus memanfaatkan inovasi teknologi untuk meningkatkan lingkungan kerja tenaga medis dan memperkuat kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan.
Selain itu, meskipun menghadapi tantangan politik, Taiwan secara konsisten berpartisipasi dalam urusan kesehatan internasional dan berdedikasi dalam mendukung sistem kesehatan global.
Selama pandemi COVID-19, Taiwan memainkan peran penting dalam berbagi pasokan, strategi, dan pengalaman, serta membuktikan dirinya sebagai mitra terpercaya bagi berbagai negara di dunia.
Kisah sukses Taiwan dalam mewujudkan cakupan kesehatan semesta menawarkan pelajaran berharga bagi negara-negara lain. Saat Taiwan terus berbagi pengalaman tentang cakupan semesta, pengelolaan keuangan, dan kesehatan digital, Taiwan berharap dapat membantu negara-negara lain mencapai tujuan cakupan kesehatan semesta WHO.
Di era yang berubah dengan cepat ini, tantangan kesehatan melintasi batas negara, dan kerja sama global menjadi sangat penting untuk menghadapi berbagai krisis kesehatan. Namun sayangnya, Taiwan terus dicegah berpartisipasi dalam WHO—badan kerja sama kesehatan global terdepan—karena distorsi terus-menerus dari Resolusi Majelis Umum PBB 2758 dan Resolusi Sidang Kesehatan Dunia 25.1 oleh Tiongkok.
Kedua resolusi tersebut tidak pernah menyebut Taiwan atau menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Karena itu, resolusi tersebut tidak memiliki kekuatan untuk memberikan hak kepada RRT untuk mewakili Taiwan dalam WHO.
Mengingat hal tersebut, dan untuk menegakkan nilai-nilai inti PBB terkait inklusivitas dan universalitas, kami mendesak WHO dan seluruh pihak terkait untuk mengakui kontribusi besar Taiwan dalam membangun kesehatan masyarakat global dan memenuhi hak asasi manusia atas kesehatan.
Sangat penting bagi WHO untuk mengadopsi pendekatan yang lebih terbuka dan menunjukkan fleksibilitas, dengan berpegang pada prinsip profesionalisme dan inklusivitas. Taiwan harus diikutsertakan, sebagai langkah pragmatis, dalam Sidang Kesehatan Dunia dan seluruh pertemuan, kegiatan, serta mekanisme WHO, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian pandemi WHO.
Taiwan dengan sungguh-sungguh berharap dapat bekerja sama dengan komunitas internasional untuk menciptakan masa depan pelayanan kesehatan tanpa batas yang mewujudkan hak asasi manusia atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Konstitusi WHO dan visi “tidak meninggalkan siapa pun” yang diusung oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.
SMSI PUSAT
Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Seruan Dukungan Partisipasi Taiwan ICAO

Published

on

By

Oleh Chen Shih-kai*

*Chen Shih-kai adalah Menteri Perhubungan dan Komunikasi Repulic of China (Taiwan).

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menyelenggarakan Sidang Majelis setiap tiga tahun sekali. Forum ini menjadi wadah penting untuk melakukan pertemuan multilateral dan diskusi dalam merumuskan regulasi serta standar penerbangan sipil global.

Hasil keputusan Sidang Majelis dipatuhi oleh negara-negara anggota guna menjamin pertumbuhan penerbangan sipil internasional yang aman, tertib, dan berkelanjutan.

Sidang Majelis ICAO ke-42 dijadwalkan berlangsung pada 23 September hingga 3 Oktober 2025 di markas ICA) di Montreal, Kanada, dengan mengusung rencana strategis jangka panjang bertajuk “Safe Skies, Sustainable Future”.

ICAO menekankan komitmen untuk bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan, baik negara anggota, nonanggota, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun sektor swasta untuk membangun sistem penerbangan internasional yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Sejalan dengan tujuan tersebut, Taiwan menyerukan agar ICAO memberi kesempatan bagi partisipasi penuh Taiwan dalam Sidang Majelis, pertemuan teknis, dan mekanisme lainnya guna menjamin kebutuhan keselamatan dan pembangunan penerbangan regional, sekaligus mewujudkan langit yang aman menuju masa depan berkelanjutan.

Pentingnya FIR Taipei

Wilayah Informasi Penerbangan Taipei (Taipei FIR) mencakup salah satu jalur udara tersibuk di Asia Timur, dan merupakan bagian integral dari lebih dari 300 FIR dalam jaringan ICAO. Dalam kaitan ini, Otoritas Penerbangan Sipil Taiwan (CAA) merupakan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab mengawasi FIR Taipei.

CAA menyediakan layanan informasi penerbangan yang komprehensif serta mengelola rute udara demi menjamin keselamatan dan efisiensi semua penerbangan yang masuk, keluar, maupun transit melalui wilayah ini.

Dari perspektif manajemen risiko dan keselamatan, ICAO seharusnya memberi kesempatan kepada CAA untuk berpartisipasi, sejajar dengan otoritas pengelola FIR lainnya. Hal ini penting agar FIR Taipei dapat berkomunikasi langsung dengan FIR lain maupun dengan ICAO, sehingga arus informasi dapat tersampaikan secara cepat dan tepat.

Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok kerap mendeklarasikan zona bahaya sementara, melakukan reservasi wilayah udara, dan menetapkan area latihan militer di FIR Taipei, meski tidak memiliki kewenangan atas wilayah tersebut.

Langkah ini dilakukan tanpa memenuhi ketentuan ICAO mengenai pemberitahuan minimal tujuh hari sebelumnya, sehingga menimbulkan gangguan serius terhadap keselamatan penerbangan, baik di FIR Taipei maupun di FIR sekitarnya.

Komitmen Taiwan bagi Penerbangan Global

Industri penerbangan internasional saat ini menghadapi beragam tantangan, baik yang bersumber dari faktor alam maupun ulah manusia, seperti perubahan iklim, krisis energi, hingga ketegangan geopolitik global.

Taiwan yang mengelola lalu lintas padat di FIR Taipei berupaya konsisten menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam komunitas penerbangan internasional.

CAA telah meluncurkan Program Keselamatan Negara (State Safety Program), mengadopsi standar ICAO, serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk membangun sistem pengawasan keselamatan. Hasilnya, Taiwan mencatat kinerja keselamatan yang sangat baik.

Khusus pada periode 2020 – 2024, tingkat kecelakaan pesawat bermesin turbofan maupun turboprop mencapai nol kasus per sejuta penerbangan.

Industri penerbangan Taiwan juga memperoleh pengakuan global. EVA Air, misalnya, dinobatkan sebagai salah satu maskapai layanan penuh paling aman di dunia oleh AirlineRatings.com, dan menempati peringkat ketujuh maskapai paling aman pada 2025.

Selain itu, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, CAA telah memasukkan Skema Pengimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA) ke dalam hukum nasional, serta meluncurkan program percontohan bahan bakar penerbangan berkelanjutan pada April 2025.

Langkah ini menegaskan tekad Taiwan untuk berkontribusi nyata dalam transformasi menuju target nol emisi bersih. Tetapi, meski berbagai upaya telah dilakukan, akses Taiwan terhadap informasi penting masih terbatas karena tidak diizinkan mengikuti pertemuan teknis maupun pelatihan yang diselenggarakan ICAO.

Dalam kaitan ini, sudah seharusnya ICAO menjalankan prinsip “No One Left Behind” dengan membuka ruang partisipasi yang setara bagi Taiwan.

Momentum Penting Merangkul Taiwan

Keselamatan penerbangan tidak mengenal batas negara. Selama puluhan tahun, Taiwan melalui CAA konsisten menegakkan standar tertinggi dalam pelayanan dan keselamatan di FIR Taipei, sekaligus mematuhi standar serta rekomendasi ICAO.

Sebagai bagian dari komunitas penerbangan internasional, Taiwan memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga keselamatan penerbangan regional maupun global.

Partisipasi Taiwan dalam ICAO akan memungkinkan kolaborasi yang lebih erat dengan negara-negara lain, sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi perkembangan penerbangan global dan kesejahteraan umat manusia.

Dengan tema “Safe Skies, Sustainable Future”, Sidang Majelis ICAO ke-42 menjadi momentum penting bagi organisasi ini untuk merangkul Taiwan.

Melalui partisipasi yang bermakna, Taiwan dapat berbagi keahlian profesional demi mewujudkan visi ICAO, yakni menciptakan langit yang lebih aman sekaligus masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan.

CAA Taiwan berkomitmen bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mengimplementasikan Standar dan Praktik yang Direkomendasikan (SARPs).

SMSI PUSAT

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Kapolri Mendahului Atau “Melawan” Presiden?

Published

on

By

Prof Henri Subiakto – Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia

Presiden Prabowo sedang menyiapkan agenda reformasi Polri sebagai respon tuntutan publik pasca-demo besar pada Agustus 2025.

Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang dikenal tegas, termasuk pernah menangani kasus Ferdy Sambo dan sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas serta Reformasi Kepolisian, sebelum dilantik, telah dinaikkan pangkatnya secara istimewa menjadi Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat).

Penunjukan itu disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang melibatkan tokoh luar seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk evaluasi menyeluruh.

Sementara Kapolri Listyo Sigit merespons cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal pada hari yang sama melalui Surat Perintahnya. Tim ini beranggotakan 52 perwira, diketuai Komjen Chryshnanda Dwilaksana dengan Listyo Sigit sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.

Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di pemerintahan Prabowo, upaya reformasi Polri jadi uji coba keseimbangan kekuasaan antara presiden, Polri,  genk Solo dan tuntutan publik.

Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya (lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989), jadi sinyal kuat, Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi secara langsung dari Istana.

Secara politik, akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin tegas yang ingin “membersihkan” institusi Polisi dari warisan  presiden Jokowi (di mana Listyo diangkat karena kedekatannya sejak dari Solo).

Kenaikan pangkat Jenderal Dofiri juga bisa dibaca sebagai sikap politik yg memilih loyalis di luar loyalis Listyo, mengingat Dofiri lebih senior dan dikenal tegas dan bukan gerbong yang dibina Listyo Sigit.

Dengan adanya Pembentukan tim internal Polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi dilihat sebagai langkah proaktif Polri “sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar, namun juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.

Ini upaya para pimpinan Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nantinya tidak “mengganggu” struktur hirarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.

Ini juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dengan Kapolri Listyo Sigit yg tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, namun di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai  sebagai upaya perlindungan posisi Kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.

Karena jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.

Tim internal bisa bermakna “pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana mana.

Reformasi institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Serta datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan berpendapat.

Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan  tidak tegas, lebih banyak omon omon.

Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda  soliditas kekuasaan Presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029.

Tapi keinginan politik itu nampaknya ada yang tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.

Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, “menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.

OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri sendiri karena memiliki  tujuan dan inisiator yang berbeda.*** (SMSI Pusat)

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Published

on

By

Oleh: Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas. Sebab RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan. Hal ini karena adanya beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.

RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.

Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.

Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.

Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.

Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini membalik beban pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.

Karena itu, saya menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari Istilah ‘tidak seimbang’, di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.

Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.

Begitu pula proses perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.

Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Kategori

Advertisement
Advertisement

Populer

error: Content is protected !!