Opini
Makin Solid, SMSI Pusat dan Daerah Optimus Meraih Peluang Bisnis

Catatan Akhir Tahun 2024:
Oleh: Yono Hartono*
TAHUN 2024 merupakan tahun yang penuh tantangan dan peluang bagi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat, khususnya dalam bidang organisasi, pengembangan daerah, dan pendataan verifikasi media ke Dewan Pers.
Sebagai Wakil Ketua Umum yang bertanggung jawab di bidang ini, kami telah menjalankan berbagai program strategis organisasi pers SMSI yang dipimpin oleh Ketua Umum Firdaus.
Pelaksanaan program-program itu untuk mendukung penguatan kelembagaan SMSI dan memastikan media siber yang tergabung dalam SMSI memenuhi standar Dewan Pers.
Optimisme pun semakin kuat dalam meraih peluang-peluang bisnis media di tahun mendatang: 2025.
Capaian Kinerja Tahun 2024
A. Bidang Organisasi
Konsolidasi internal SMSI di tingkat pusat dan daerah telah berjalan dengan baik. Seluruh kepengurusan SMSI di 34 provinsi berhasil dioptimalkan dengan menyesuaikan kebutuhan daerah.
Pelaksanaan pelatihan dan workshop bagi pengurus SMSI daerah untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi dalam pengelolaan organisasi.
Penyusunan pedoman dan SOP organisasi yang lebih terstruktur, termasuk panduan teknis untuk proses verifikasi media.
SMSI sebagai organisasi induk juga membentuk badan otonom yang dapat memperkuat SMSI sebagai organisasi pers yang tercatat sebagai konstituen Dewan Pers.
Badan otonom itu adalah Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred). Pemimpin redaksi merupakan bagian dari manajemen media dengan kualifikasi sertifikasi wartawan utama sebagaimana yang disyaratkan dalam ketentuan Dewan Pers.
Sebagai tanggung Jawab SMSI terhadap kualitas wartawan berkualitas, dibentuklah Perkumpulan Pemimpin Redaksi Media Siber yang disingkat Forum Pemred SMSI.
Selain itu SMSI juga membentuk Millennial Cyber Media (MCM)
untuk generasi muda sebagai pengguna media siber. Di luar MCM, SMSI juga membentuk Media Crisis Centre (MCC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
B. Bidang Daerah
Penguatan SMSI di daerah melalui pembentukan cabang baru di beberapa kabupaten/kota strategis hingga akhir 2024. Penyelarasan program kerja SMSI daerah dengan pusat untuk memastikan visi dan misi organisasi tercapai secara sinergis.
Penguatan hubungan dengan pemerintah daerah dan mitra strategis untuk mendukung keberlanjutan operasional SMSI daerah juga terus dilaksanakan.
Misalnya kerja sama SMSI dengan Kementerian Sosial RI dalam membangun lingkungan dan taman di Mancak, Kabupaten Serang pada pertengahan Desember 2024 dan akan berlanjut tahun 2025.
C. Pendataan dan Verifikasi Media ke Dewan Pers
Proses verifikasi media anggota SMSI ke Dewan Pers telah dilakukan secara sistematis. Masih banyak media yang belum berhasil terverifikasi pada tahun 2024 oleh Dewan Pers.
Untuk itu SMSI melakukan peningkatan layanan pendampingan kepada anggota media dalam memenuhi persyaratan administrasi dan teknis verifikasi sesuai ketentuan Dewan Pers.
SMSI juga melakukan peluncuran sistem digital untuk mempermudah pendataan media anggota SMSI dan pengajuan verifikasi ke Dewan Pers.
Selain itu koordinasi intensif dengan Dewan Pers terkait proses verifikasi, penyempurnaan data, dan pengawasan terhadap media anggota SMSI juga terus dilakukan.
Tantangan dan Kendala
Masih terdapat kendala administratif dan teknis dari beberapa media anggota untuk memenuhi standar Dewan Pers, seperti legalitas perusahaan, struktur redaksi, dan aspek profesionalitas.
Kendala lain, kurangnya pemahaman di beberapa daerah mengenai pentingnya verifikasi media untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik.
Sementara perbedaan regulasi di beberapa daerah juga mempengaruhi operasional SMSI cabang.
Rekomendasi untuk Tahun 2025
Melanjutkan program pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kompetensi media anggota SMSI.
Meningkatkan kolaborasi dengan Dewan Pers dan pihak terkait untuk mempercepat proses verifikasi media.
Laporan ini merupakan gambaran atas pencapaian, tantangan, dan rencana strategis SMSI Pusat di bidang organisasi, daerah, dan pendataan verifikasi media.
Kami berharap, dengan dukungan semua pihak, SMSI dapat terus berkembang dan berkontribusi dalam memperkuat ekosistem media siber di Indonesia.
*Yono Hartono adalah Wakil Ketua Umum SMSI Pusat Bidang Organisasi, Daerah, dan Pendataan.
Opini
Peringatan 30 Tahun Sistem Asuransi Kesehatan Nasional, Taiwan Tingkatkan Kesetaraan Kesehatan

Penulis Dr. Chiu Tai-yuan _ _ Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan_ _ ROC (Taiwan)
Opini
Tarif Trump, Biaya Mendominasi

Oleh Ichsanuddin Noorsy*
*Ichsanuddin Noorsy adalah Ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).
Sekitar 40 tahun lalu, saat Indonesia didikte Amerika Serikat untuk melepas hambatan tarif (tariff barrier) terhadap perdagangan bebas, hampir semua ekonom Indonesia yang dididik Barat dan “kader Washington” mengaminkan anjuran yang memaksa itu.
Argumentasi mereka, sebagaimana argumentasi ekonom AS adalah, perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka pemerintah harus melepaskan perlindungan dan tidak boleh mendistorsi pasar. Lalu BUMN dan perusahaan domestik jangan menjadi jago kandang.
Tesa mereka berbunyi, biarkan pasar mencari keseimbangan sendiri. “Let the free market play,” begitulah propagandanya, dan semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia menyetujui.
Mata kuliah ekonomi internasional pun menjadi pengajaran bergengsi. Kebijakan ekonomi politik saat itu dikenal dengan sebutan deregulasi dan debirokratisasi. Lahirlah paket kebijakan November 1987 yang menurunkan tarif masuk barang impor. Bahkan pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke perusahaan multi nasional asal Perancis bernama SGS (Société Générale de Surveillance).
Menkeu JB Sumarlin pun mengeluarkan gebrakan Paket Oktober 1988, suatu kebijakan yang meliberalkan sektor keuangan dan perbankan. Nilai tukar rupiah mengambang bebas. Hasilnya, Indonesia diserang oleh pasar uang yang memukul rupiah sehingga terjadi krisis multi dimensi 1997/1998. Lalu UUD 1945 pun diganti menjadi UUD 2002, hasil amandemen empat kali.
Banyak yang belum sadar, nilai tukar adalah bagian dari harga diri bangsa.
Setelah Indonesia terpuruk, AS kemudian menerbitkan kebijakan perang melawan teror menyusul peristiwa runtuhnya gedung kembar World Trade Centre pada 11 September 2001.
Justru dengan peristiwa itu AS membangun keyakinan diri bahwa pasar bebas, perdagangan bebas, demokrasi, model pembangunan Barat, dan tegaknya hak asasi manusia patut dicanangkan di seluruh dunia.
Presiden AS ke-43 George Walker Bush menegaskan hal itu pada 17 September 2002 dalam National Security Strategic of USA (Re: Noorsy, Prahara Bangsa, Desember 2024).
Jika kini Presiden AS ke-45 dan ke- 47 Donald Trump dari Partai Republik menerbitkan kebijakan hambatan tarif, maka AS sebenarnya sedang mempertahankan dominasi perekonomian globalnya dan sekaligus menyerang balik 60 negara. Sebenarnya pada 2004 AS sudah merasakan desakan impor dari berbagai negara, khususnya dari RRC.
Kemudian, walaupun sudah mendapatkan kepastian dari Irak, AS merasa tak nyaman tergantung pada pasokan minyak dari Venezuela, Kanada, Kuwait, dan Saudi Arabia.
Pada 2007 AS mengalami defisit perdagangan dengan RRC senilai US$ 267 miliar dan menjadi US$323 miliar pada 2008. Inilah yang menyebabkan krisis keuangan global pada 2008 karena gagal bayarnya Subprime Mortgage. Lagi-lagi semua ekonom mengaminkan bahwa krisis 2008/2009 disebabkan oleh krisis keuangan, tanpa melihat kekalahan perang dagang AS.
Menurut Wall Street Journal, defisit perdagangan AS sudah terjadi sejak 1980. Sementara defisit APBNnya berlangsung sejak 2001. Kebiijakan GW Bush sendiri dipandang telah membangkitkan perlawanan dari musuh-musuh potensial AS, baik secara militer maupun secara ekonomi.
Komite Penyelidik yang dibentuk Obama menyatakan, krisis 2008/2009 disebabkan oleh moral hazard (Re: Noorsy, Moral Hazard Perbankan. Unair, Surabaya, Februari 2011).
Dalam pengajaran saya di berbagai universitas/perguruan tinggi dan di Sekolah Pimpinan Nasional LAN, Sekolah Perwira Tinggi Kepolisian, serta di Sekolah Pendidikan Luar Negeri Kemenlu sejak 2009 hingga 2015 disebutkan bahwa perang dagang telah dimulai sejak Obama mencanangkan American First.
Saat berkuasa, Obama menyatakan muak terhadap Presiden RRC Hu Jintao. Tapi sikap Obama dinyatakan tidak memadai oleh Trump yang menjadi Presiden AS ke-45. Saat itu Trump langsung menyatakan perang dagang, perang nilai tukar, dan perang sistem ekonomi.
Media arus utama Barat melukiskan peperangan ekonomi itu sebagai state capitalism (BUMN) melawan corporate capitalism (korporasi swasta). Lima bulan sebelum Trump menduduki Gedung Putih, serangan Barat terhadap pasar modal Shanghai — yang disebut Black Monday 24 Agustus 2015 — justru membuahkan perlawanan Rusia dan China.
Dua negara ini menanggalkan pemakaian sistem pembayaran SWIFT Code yang menggunakan mata uang dolar AS. Kartu kredit Visa Card disingkirkan kartu kredit RRC, Unionpay. Secara menyeluruh, perang sistem ini dikenal sebagai Sustainable Growth atau Sustainable Development.
Tampak bahwa goal (SDGs) dari Barat yang dikomandoi AS melalui Bank Dunia, IMF dan WTO adalah melawan Belt and Road Inisiative dari RRC beserta negara mitranya. Dalam lingkup kelembagaan, inilah peperangan Bank Dunia bersama ADB melawan New Develoment Bank bersama Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang modal besarnya dari RRC.
Maka dedolarisasi tak terhindarkan. Sementara RRC dan Rusia membuat sistem pembayaran sendiri sambil mengganti dolar (SDGs) AS dengan mata uang bilateral atau mata uang BRICS. Sebelumnya kader Partai Republik Marco Rubio yang saat itu menjabat sebagai Senator dari Florida, menyatakan, AS tidak perlu kecil hati.
Pernyataan ini seirama dengan pemberitaan majalah the Economist 30 Juni 2007, Still No.1, karena AS memiliki kekuatan militer, jumlah APBN yang besar, menguasai pasar minyak dan komoditas strategis, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, penentu utama industri makanan cepat saji, dan penguasa industri media serta menjadi kiblat pendidikan.
Tapi perang ekonomi yang dilancarkan Trump era pertama tidak juga membuat AS berhasil mengatasi neraca perdagangannya. Pada titik ini, dimensi perdagangan global berbasis persaingan bebas telah membuat perekonomian AS terhuyung-huyung.
Penguasaan dolar AS sebesar 88,4 persen pada transaksi keuangan internasional, 59,1 persen pada cadangan devisa berbagai negara, 46,5 persen pada SWIFT Code, dan 25,4 persen pada perhitungan PDB Global tidak membuat AS mampu mengatasi kemelut perekonomian nasionalnya.
Kebijakan suku bunga Federal Reserve, inflasi tinggi, dan bantuan sosial melalui paycheck tidak membuat daya beli masyarakat AS membaik, sementara krisis kepemilikan rumah berlangsung bersamaan dengan bencana kebakaran, kebanjiran dan badai tornado yang menimbulkan biaya tinggi. Ketimpangan ekonomi yang tinggi pun terjadi.
Sebagai negara super power perekonomian dunia, Trump melihat bahwa biaya perekonomian nasional AS dan upaya menjaga posisi mendominasi dunia dapat dilakukan antara lain dengan tarif resiprokal.
Di dalam negeri, kendati diprotes berbagai negara bagian dan masyarakat luas, Trump melancarkan efisiensi anggaran dengan memberhentikan jutaan pegawai federal dan negara bagian.
Rasanya Trump akan bertahan dengan sikapnya jika kita belajar dari karakternya sebagai pebinis dan tokoh masyarakat kulit putih AS. Maka 50 negara yang tarifnya dinaikkan mengajukan negosiasi, sementara musuh utamanya, Kanada, Meksiko dan RRC melakukan pembalasan. Artinya, perang ekonomi belum usai.
Bagi Indonesia yang terkena penetapan tarif 32 persen dan ingin menegosiasikan, sebenarnya patut dilihat dalam perspektif risiko dan manfaat. Belajar dari 40 tahun terakhir, jatuhnya nilai tukar dan merupakan nilai tukar terlemah ke lima di dunia memberikan pembelajaran bahwa ada yang salah dalam pemilihan dan pemilahan kebijakan.
Defisit neraca pembayaran bersamaan dengan defisit anggaran menunjukkan surplus neraca perdagangan tidak identik dengan membaiknya makro prudensial (nilai tukar, suku bunga, dan inflasi).
Rentannya makro prudensial ini membuat mikro prudensial selalu berhadapan dengan rendahnya kepastian struktur biaya produksi. Pasar barang (terutama pada barang dan jasa hajat hidup orang banyak) dan pasar uang pasti memengaruhi pasar tenaga kerja. PHK pun terjadi lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Sementara membaiknya nilai ekspor terhadap utang luar negeri dari 123 persen pada 2013 menjadi 130 persen pada 2024 malah menunjukkan ada yang salah dengan struktural perekonomian Indonesia. Penyebabnya adalah deindustrialisasi yang berjalan sejak era SBY hingga saat ini.
Trump sebenarnya sedang mengajarkan kaum teknokrat dan intelektual ultra neoliberal Indonesia bahwa “inward looking” (melihat ke dalam, mengutamakan kepentingan nasional) merupakan hal yang sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan ekonomi.
Penyelamatan ini harus dilakukan bukan hanya dengan menganekaragamkan pasar, atau memperluas pasar. Ada yang lebih penting lagi, yakni memperbaiki kepercayaan sosial, politik dan ekonomi bersamaan dengan mendorong terjadinya inovasi sehingga bangsa ini tidak melulu dijadikan konsumen, atau menjadi budak dan operator atas kemajuan teknologi informas dan komunikasi.
Bangsa Indonesia tetap mempunyai harapan besar untuk bangkit sepanjang bangsa ini setia, tangguh dan teguh mempertahankan janji suci para pendiri republik. Mari berhenti menjadi penjilat dan penghianat karena kita mempunyai kiblat ekonomi sendiri.
Opini
Mercon dan Kembang Api: Kemeriahan Palsu Yang Wajib Dihentikan

Oleh Muhammad Akhyar Adnan*
Kegiatan produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, serta kembang api telah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat, terutama saat perayaan seperti Idul Fitri atau Tahun Baru. Namun, di balik kemeriahan sesaat yang ditawarkan, terdapat ancaman serius yang tidak bisa diabaikan lagi.
Sudah saatnya kita membuka mata dan mengambil sikap tegas untuk menghentikan praktik ini demi kebaikan bersama. Berikut adalah alasan mendesak mengapa kegiatan ini harus segera dihentikan.
Pertama, tidak ada dasar hukum. Sebaliknya: melanggar hukum. Secara agama Islam, tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis yang mendukung penggunaan petasan atau kembang api sebagai bagian dari ibadah atau perayaan.
Sebaliknya, MUI DKI Jakarta melalui Fatwa pada 13 Ramadhan 1431 H (23 Agustus 2010) menyatakan bahwa membakar petasan dan kembang api adalah haram karena merupakan pemborosan (tabzir), tidak memiliki manfaat syar’i, dan membahayakan jiwa.
Ini sesuai larangan dalam Surah Al-Isra ayat 26-27: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.”
Muhammadiyah, melalui pendekatan Majelis Tarjihnya, juga menekankan prinsip syariat yang melarang segala bentuk pemborosan dan bahaya. Meski belum ada fatwa nasional spesifik, sikap ini sejalan dengan pandangan bahwa kegiatan dimaksud tidak memiliki landasan agama.
Dari sisi hukum negara, Indonesia telah mengatur larangan ini. Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 melarang kepemilikan bahan peledak, termasuk bahan petasan, tanpa izin resmi. Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2017 juga membatasi penggunaan kembang api dan petasan, dengan sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar.
Pelanggaran ini bahkan dapat dijerat dengan Pasal 187 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kebakaran atau kematian dengan ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun jika mengakibatkan korban jiwa. Jadi, kegiatan ini bukan hanya tanpa dasar hukum, tetapi juga melawan hukum yang berlaku.
Kedua, mudarat besar manfaat nihil. Bahaya dari mercon, petasan, dan kembang api bukan isapan jempol. Setiap tahun korban berjatuhan, baik dari sisi produksi maupun penggunaan.
Pada Maret 2023, ledakan petasan di Kaliangkrik, Magelang, menewaskan seorang pengrajin, melukai tiga orang tetangga, dan merusak belasan rumah. Kejadian serupa terjadi di Banyuwangi pada 2017, ketika sebuah rumah produksi petasan meledak, menewaskan dua orang dan menghancurkan bangunan sekitar.
Anak-anak dan remaja, yang sering menjadi pengguna utama, juga rentan menjadi korban. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencatat bahwa selama periode Lebaran 2019, puluhan pasien, mayoritas anak-anak, dirawat akibat luka bakar dan amputasi jari karena petasan.
Secara statistik, meskipun data tahunan nasional belum terdokumentasi secara lengkap, laporan kepolisian dan media menunjukkan tren kerugian yang konsisten. Pada Ramadan 2022, razia polisi di berbagai daerah menyita ribuan petasan ilegal, namun kecelakaan tetap terjadi, termasuk kebakaran rumah di Jakarta akibat percikan petasan.
MUI menegaskan dalam fatwanya bahwa mudharat kegiatan ini jauh lebih besar daripada manfaatnya, bahkan manfaatnya nyaris nihil. Pandangan serupa diamini oleh Muhammadiyah yang selalu mengedepankan prinsip kemaslahatan dan penghindaran bahaya dalam setiap aktivitas.
Ketiga, pemborosan yang menyerupai perbuatan setan. Membakar mercon dan kembang api adalah bentuk pemborosan luar biasa. Jutaan rupiah dihamburkan untuk sesuatu yang hanya berlangsung beberapa detik tanpa meninggalkan jejak manfaat.
Dalam Islam, perbuatan ini disebut tabzir, yang secara eksplisit dikutuk dalam Al-Qur’an, Surah Al-Isra ayat 27. MUI dalam fatwanya menegaskan bahwa pemborosan ini menyerupai perbuatan setan, musuh utama umat manusia.
Muhammadiyah juga kerap mengingatkan umat untuk menggunakan harta ke hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat, seperti sedekah atau pendidikan, ketimbang menghabiskannya untuk hal sia-sia.
Di tengah kemiskinan yang masih melanda sebagian masyarakat, tradisi ini menjadi ironi yang menyakitkan.
Seruan Mendesak untuk Bertindak
Dengan fakta-fakta di atas, kita tidak bisa lagi menunda-nunda tindakan yang diperlukan.
Pertama, sangat mendesak bagi para ulama, termasuk dari MUI dan Muhammadiyah untuk memperkuat fatwa nasional yang tegas menyatakan bahwa produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah haram.
Fatwa MUI DKI Jakarta pada 2010 dan pandangan Muhammadiyah tentang kemaslahatan perlu diseragamkan dan diperluas agar memiliki daya ikat yang lebih kuat di seluruh Indonesia.
Kedua, penegak hukum harus bertindak tegas. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu menindak tanpa pandang bulu siapa saja yang terlibat, mulai dari produsen, pedagang, hingga pengguna yang melanggar aturan.
Sanksi pidana harus ditegakkan sebagai efek jera, sebagaimana diamanatkan dalam UU Darurat 12/1951 dan KUHP. Tidak boleh ada toleransi lagi terhadap praktik yang jelas-jelas membahayakan masyarakat.
Produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah musibah yang terselubung dalam kemeriahan palsu.
Tanpa dasar hukum agama maupun negara, penuh mudharat tanpa manfaat, serta merupakan pemborosan yang dilarang keras oleh Al-Qur’an, MUI, dan prinsip Muhammadiyah, kegiatan ini harus segera dihentikan. Nyawa, harta, dan ketertiban masyarakat terlalu berharga untuk dikorbankan demi tradisi yang tidak bermakna.
Mari kita berani mengambil langkah tegas sekarang, sebelum korban berikutnya berjatuhan.
*Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara