Opini
Teror Kepada Pers, Teror Kepada Demokrasi

Oleh TM Luthfi Yazid*
Mengapa pers sekelas Tempo mendapatkan teror? Apa sebab Tempo diintimidasi? Dimana letak kemerdekaan pers yang dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945? Apa implikasinya terhadap demokrasi dan klaim bahwa Indonesia adalah negara hukum?
Majalah legendaris Indonesia yang bernama Tempo mendapatkan teror dengan dikirimi kepala babi dan dikirimi bangkai tikus. Apa pelajaran dan hikmah dari kasus teror dan intimidasi kepada pers seperti ini?
Pertama, sudah jelas bahwa kemerdekaan pers dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945 mengenai kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran, baik lisan maupun tulisan.
UUD 1945 adalah sebuah perjanjian luhur antara negara dengan rakyatnya. Artinya jaminan konstitusional negara terhadap hak-hak rakyatnya adalah sebuah keharusan.
Kedua, jika pers dalam melaksanakan tugasnya memuat berita yang dianggap keliru oleh siapa pun, maka ada Hak Jawab yang dijamin oleh UU Pers, UU No 40 Tahun 1999.
Artinya, mekanisme hukum yang ada ialah menyampaikan Hak Jawab, tidak boleh ada upaya menghakimi pers secara sepihak. Jika pun masih belum memuaskan, maka ada Dewan Pers yang dapat membantu “mengadili” perkara pemberitaan pers tersebut.
Ketiga, teror kepada pers mengingatkan kita pada masa lalu, yakni pers di masa Orde Baru. Saat itu apabila ada pers yang dianggap berseberangan atau mengkritik penguasa Orde Baru dan dianggap terlalu kritis, maka Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) media yang bersangkutan bisa dicabut.
Pencabutan SIUPP dilakukan oleh pemerintah yaitu Menteri Penerangan melalui Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 1 Tahun 1984 yang telah dicabut seiring dengan reformasi tahun 1998.
Dalam konteks ini kita jadi teringat dengan sebuah ungkapan bahwa pers itu pada hakekatnya diibaratkan sebuah “organisasi kentongan”.
Diibaratkan kentongan, maka apabila ada suatu bencana seperti kebakaran, banjir, kejahatan dan sebagainya, maka kentongan dibunyikan.
Dengan suara kentongan yang dibunyikan, masyarakat kampung akan menjadi sadar akan adanya bahaya atau adanya ancaman.
Dengan begitu masyarakat akan mengambil antisipasi atau tindakan untuk menghindar dari mara bahaya tersebut. Atau memadamkan kebakaran jika itu kebakaran.
Tugas pers di jaman disrupsi semakin tidak ringan. Perkembangan Artificial Intelligence (AI), munculnya Chat GPT, DeepSeek dan sebagainya membutuhkan peran pers yang semakin cerdas, bijak dan komprehensif.
Pers harus peka dan terlibat dalam memberikan masukan, peringatan dan alarm. Itu sebuah keniscayaan. Ibaratkanlah kita ada dalam sebuah kapal laut yang sedang berlayar.
Jika ada orang atau sekelompok orang merusak atau membolongi bidak kapal sehingga air laut masuk kedalam kapal, maka apabila dibiarkan terus menerus lama kelamaan kapal akan tenggelam, dan kita semua menjadi korban.
Begitupun sebuah bangsa dan negara harus pula ada yang mengingatkan, mengkritik, dan memberi masukan. Itu harus dimaknai sebagai sebuah bentuk cinta kepada negara dan bangsa sesuai mandat Konstitusi.
Pers memang tidak sepatutnya hanya memuja-muji. Terhadap sebuah prestasi, termasuk prestasi pemerintah, maka wajarlah bila pers memberikan apreasiasi secara layak. Namun bukan menjilat.
Pers perlu memberikan kritik atau meluruskan jika ada ketidakadilan di tengah masyarakat atau ada “peyimpangan” dengan mengatasnamakan regulasi. Sebab, misalnya, boleh jadi ada korupsi tapi bukan dalam bentuk uang. Korupsinya dengan cara “merekayasa regulasi”.
Sepanjang sejarah pers Indonesia, sebenarnya pengekangan terhadap pers sudah ada sejak zaman kolonial. Pers yang ada di jaman penjajahan dikontrol dan diberangus dengan sebuah aturan hukum yang disebut Pressbreidel Ordonantie tahun 1931.
Dengan aturan hukum kala itu, apabila ada pers yang menentang atau mengkritik penguasa kolonial maka akan diberangus atau dimusnahkan.
Rupanya pemberangusan semacam itu merupakan ciri-ciri dari sebuah penguasa yang otoriter dimana pun dan kapan pun. Tak terlepas juga di jaman Orde Lama maupun Orde Baru.
Tulisan-tulisan Akhmad Zaini Abar, penetili LP3Y, memberikan informasi sejarah yang lumayan lengkap tentang perilaku penguasa terhadap pers (1989, 1990) atau tulisan David T. Hill berjudul The Press in New Order Indonesia (1994).
Oleh sebab itu, jika pada zaman sekarang masih ada teror seperti dialami Tempo, dan tidak menutup kemungkinan akan dialami oleh media-media lainnya, maka hal seperti itu sudah sungguh sangat menyedihkan serta menjadi ancaman makin gelapnya demokrasi dan negara hukum di negeri tercinta ini.
Sekarang tergantung kita, seluruh komponen bangsa, apakah kita akan membiarkan teror atau segala macam bentuknya termasuk self-censorship ataukah kita perlu melakukan early warning system?
Jika teror seperti ini dibiarkan tentu akan sangat merugikan kita, termasuk pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang masih seumur jagung.
Sudah saatnya Presiden Prabowo bersuara dan bersikap tegas kepada siapa pun yang merongrong prinsip negara hukum dan demokrasi.
Bila ini dibiarkan tidak mustahil akan ada efek domino atas pemasungan dan pengekangan terhadap pers, baik kepercayaan dari dalam negeri maupun luar negeri, sebab sampai sekarang pun pers seharusnya ditempatkan sebagai the fourth estate of democracy.
Suka tidak suka, keberhasilan pemerintahan Presiden Prabowo membutuhkan dukungan dan peran pers.
Karena itu, siapa pun pencinta demokrasi, terkait kebebasan pers dan kebebasan berpendapat haruslah berpegang kepada apa yang pernah dikatakan Voltaire dalam buku The Friends of Voltaire (1906):
“Aku tidak sependapat dengan pendapatmu, tapi aku akan bela sampai mati hakmu untuk menyampaikan pendapatmu” (I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it).
*TM Luthfi Yazid adalah Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI). Penasihat Hukum Calon Presiden dalam Pilpres 2019 dan Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi.
Opini
Seruan Dukungan Partisipasi Taiwan ICAO

Oleh Chen Shih-kai*
*Chen Shih-kai adalah Menteri Perhubungan dan Komunikasi Repulic of China (Taiwan).
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menyelenggarakan Sidang Majelis setiap tiga tahun sekali. Forum ini menjadi wadah penting untuk melakukan pertemuan multilateral dan diskusi dalam merumuskan regulasi serta standar penerbangan sipil global.
Hasil keputusan Sidang Majelis dipatuhi oleh negara-negara anggota guna menjamin pertumbuhan penerbangan sipil internasional yang aman, tertib, dan berkelanjutan.
Sidang Majelis ICAO ke-42 dijadwalkan berlangsung pada 23 September hingga 3 Oktober 2025 di markas ICA) di Montreal, Kanada, dengan mengusung rencana strategis jangka panjang bertajuk “Safe Skies, Sustainable Future”.
ICAO menekankan komitmen untuk bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan, baik negara anggota, nonanggota, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun sektor swasta untuk membangun sistem penerbangan internasional yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Sejalan dengan tujuan tersebut, Taiwan menyerukan agar ICAO memberi kesempatan bagi partisipasi penuh Taiwan dalam Sidang Majelis, pertemuan teknis, dan mekanisme lainnya guna menjamin kebutuhan keselamatan dan pembangunan penerbangan regional, sekaligus mewujudkan langit yang aman menuju masa depan berkelanjutan.
Pentingnya FIR Taipei
Wilayah Informasi Penerbangan Taipei (Taipei FIR) mencakup salah satu jalur udara tersibuk di Asia Timur, dan merupakan bagian integral dari lebih dari 300 FIR dalam jaringan ICAO. Dalam kaitan ini, Otoritas Penerbangan Sipil Taiwan (CAA) merupakan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab mengawasi FIR Taipei.
CAA menyediakan layanan informasi penerbangan yang komprehensif serta mengelola rute udara demi menjamin keselamatan dan efisiensi semua penerbangan yang masuk, keluar, maupun transit melalui wilayah ini.
Dari perspektif manajemen risiko dan keselamatan, ICAO seharusnya memberi kesempatan kepada CAA untuk berpartisipasi, sejajar dengan otoritas pengelola FIR lainnya. Hal ini penting agar FIR Taipei dapat berkomunikasi langsung dengan FIR lain maupun dengan ICAO, sehingga arus informasi dapat tersampaikan secara cepat dan tepat.
Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok kerap mendeklarasikan zona bahaya sementara, melakukan reservasi wilayah udara, dan menetapkan area latihan militer di FIR Taipei, meski tidak memiliki kewenangan atas wilayah tersebut.
Langkah ini dilakukan tanpa memenuhi ketentuan ICAO mengenai pemberitahuan minimal tujuh hari sebelumnya, sehingga menimbulkan gangguan serius terhadap keselamatan penerbangan, baik di FIR Taipei maupun di FIR sekitarnya.
Komitmen Taiwan bagi Penerbangan Global
Industri penerbangan internasional saat ini menghadapi beragam tantangan, baik yang bersumber dari faktor alam maupun ulah manusia, seperti perubahan iklim, krisis energi, hingga ketegangan geopolitik global.
Taiwan yang mengelola lalu lintas padat di FIR Taipei berupaya konsisten menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam komunitas penerbangan internasional.
CAA telah meluncurkan Program Keselamatan Negara (State Safety Program), mengadopsi standar ICAO, serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk membangun sistem pengawasan keselamatan. Hasilnya, Taiwan mencatat kinerja keselamatan yang sangat baik.
Khusus pada periode 2020 – 2024, tingkat kecelakaan pesawat bermesin turbofan maupun turboprop mencapai nol kasus per sejuta penerbangan.
Industri penerbangan Taiwan juga memperoleh pengakuan global. EVA Air, misalnya, dinobatkan sebagai salah satu maskapai layanan penuh paling aman di dunia oleh AirlineRatings.com, dan menempati peringkat ketujuh maskapai paling aman pada 2025.
Selain itu, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, CAA telah memasukkan Skema Pengimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA) ke dalam hukum nasional, serta meluncurkan program percontohan bahan bakar penerbangan berkelanjutan pada April 2025.
Langkah ini menegaskan tekad Taiwan untuk berkontribusi nyata dalam transformasi menuju target nol emisi bersih. Tetapi, meski berbagai upaya telah dilakukan, akses Taiwan terhadap informasi penting masih terbatas karena tidak diizinkan mengikuti pertemuan teknis maupun pelatihan yang diselenggarakan ICAO.
Dalam kaitan ini, sudah seharusnya ICAO menjalankan prinsip “No One Left Behind” dengan membuka ruang partisipasi yang setara bagi Taiwan.
Momentum Penting Merangkul Taiwan
Keselamatan penerbangan tidak mengenal batas negara. Selama puluhan tahun, Taiwan melalui CAA konsisten menegakkan standar tertinggi dalam pelayanan dan keselamatan di FIR Taipei, sekaligus mematuhi standar serta rekomendasi ICAO.
Sebagai bagian dari komunitas penerbangan internasional, Taiwan memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga keselamatan penerbangan regional maupun global.
Partisipasi Taiwan dalam ICAO akan memungkinkan kolaborasi yang lebih erat dengan negara-negara lain, sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi perkembangan penerbangan global dan kesejahteraan umat manusia.
Dengan tema “Safe Skies, Sustainable Future”, Sidang Majelis ICAO ke-42 menjadi momentum penting bagi organisasi ini untuk merangkul Taiwan.
Melalui partisipasi yang bermakna, Taiwan dapat berbagi keahlian profesional demi mewujudkan visi ICAO, yakni menciptakan langit yang lebih aman sekaligus masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan.
CAA Taiwan berkomitmen bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mengimplementasikan Standar dan Praktik yang Direkomendasikan (SARPs).
SMSI PUSAT
Opini
Kapolri Mendahului Atau “Melawan” Presiden?

Prof Henri Subiakto – Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia
Presiden Prabowo sedang menyiapkan agenda reformasi Polri sebagai respon tuntutan publik pasca-demo besar pada Agustus 2025.
Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang dikenal tegas, termasuk pernah menangani kasus Ferdy Sambo dan sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas serta Reformasi Kepolisian, sebelum dilantik, telah dinaikkan pangkatnya secara istimewa menjadi Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat).
Penunjukan itu disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang melibatkan tokoh luar seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk evaluasi menyeluruh.
Sementara Kapolri Listyo Sigit merespons cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal pada hari yang sama melalui Surat Perintahnya. Tim ini beranggotakan 52 perwira, diketuai Komjen Chryshnanda Dwilaksana dengan Listyo Sigit sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.
Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di pemerintahan Prabowo, upaya reformasi Polri jadi uji coba keseimbangan kekuasaan antara presiden, Polri, genk Solo dan tuntutan publik.
Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya (lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989), jadi sinyal kuat, Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi secara langsung dari Istana.
Secara politik, akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin tegas yang ingin “membersihkan” institusi Polisi dari warisan presiden Jokowi (di mana Listyo diangkat karena kedekatannya sejak dari Solo).
Kenaikan pangkat Jenderal Dofiri juga bisa dibaca sebagai sikap politik yg memilih loyalis di luar loyalis Listyo, mengingat Dofiri lebih senior dan dikenal tegas dan bukan gerbong yang dibina Listyo Sigit.
Dengan adanya Pembentukan tim internal Polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi dilihat sebagai langkah proaktif Polri “sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar, namun juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.
Ini upaya para pimpinan Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nantinya tidak “mengganggu” struktur hirarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.
Ini juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dengan Kapolri Listyo Sigit yg tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, namun di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai sebagai upaya perlindungan posisi Kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.
Karena jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.
Tim internal bisa bermakna “pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana mana.
Reformasi institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Serta datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan berpendapat.
Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan tidak tegas, lebih banyak omon omon.
Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda soliditas kekuasaan Presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029.
Tapi keinginan politik itu nampaknya ada yang tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.
Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, “menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.
OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri sendiri karena memiliki tujuan dan inisiator yang berbeda.*** (SMSI Pusat)
Opini
5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Oleh: Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas. Sebab RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan. Hal ini karena adanya beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.
RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.
Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.
Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.
Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.
Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.
Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini membalik beban pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.
Karena itu, saya menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari Istilah ‘tidak seimbang’, di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.
Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.
Begitu pula proses perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.
Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.***
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara