Connect with us

Opini

Serpihan Pemikiran Atraktif Prabowo Subianto Soal Pemberantasan Korupsi

Published

on

Catatan Akhir Tahun SMSI 2024:

Oleh: Theo Yusuf Ms, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan SMSI

“DAN saudara-saudara mengetahui bahwa Kemerdekaan daripada bangsa Indonesia itu sekedar hanyalah saya katakan berulang-ulang satu jembatan untuk menuju dan akhirnya mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang pokok yaitu, suatu masyarakat yang adil dan makmur.” (Amanat Presiden Soekarno 28 Agustus 1959)

Dalam pandangan Presiden Prabowo Subianto, untuk menjadikan masyarakat adil dan makmur, tidak perlu menjiplak ajaran dari “barat” atau negara-negara Amerika yang mengku sebagai kampiun demokrasi. Tetapi rakyat Indonesia dapat makmur dan bahagia jika kekayaan alam dan isinya itu tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang, atau hanya orang elite yang menguasai tanah dan seisinya dan seolah dia yang dapat menentukan arah kebijakan negara ini. Tidak, kata Prabowo.

Kesenjangan hidup kian menganga. “1 persen menguasai 36 peren dari kekayaan negara. Angka rasio gini Indonesa hanya 0,36 persen. Artinya, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 36 persen kekayaan sumber daya alam bangsa Indonesia yakni Rp16.8 triliun dari Rp44 triliun.” (Prabowo,2023:85).

Dengan demimian, sistem pemerintahan apapun yang akan diterapkan, apakah sistem demokrasi, sistem negara hukum atau gabungan demokrasi dan hukum di Indonesia, tidak mungkin dapat menghantarkan bangsa Indonesia hidup sejahtera (baldatul thoyibatun) seperti yang disampaikan Presiden Soekarno dan Bung Hatta dalam peringatan hari Kemerdekaan RI tahun 1959.

Oleh karenanya, Prabowo Subianto dalam mengawali pemerirntahannya, akan tegas kepada konglomerat yang tidak berpihak kepada rakyat, tegas dengan pejabat yang korup dan para pelayan publik yang menyengsarakan rakyat.

Terhadap sistem pencegahaan korupsi di Indonesia, Prabowo memberikan gagasan yang lebih atraktif, bagus dan simpel untuk dapat dilaksanakan oleh aparatus penegak hukum termasuk akan memberikan manfaat banyak kepada negara dan rakyat. Itulah sebab mengapa Ketua Media Siber Indonesia (SMSI) Firdaus, terus memberikan dukungan kepada Presiden Prabowo.

Jurus apakah konsep Prabowo dalam melakukan pemberantasan korupsi? Pertanyaan sederhana tetapi butuh kajian mendalam. Presiden Prabowo Subianto menawarkan kesempatan bertobat kepada para koruptor. Syaratnya, pelaku koruptor mengembalikan seluruh hasil korupsi kepada negara.

Hal itu disampaikan Prabowo saat memberikan kuiah umum dengan para mahasiswa Indonesia di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pertengahan Desember 2024.

“Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tetapi, kembalikan, dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya,” kata Prabowo (ant,2024).

Dalam pidato yang berlangsung lebih dari 30 menit, Presiden juga memberikan peringatan tegas kepada seluruh aparatur negara. “Hai kalian-kalian yang sudah terima fasilitas dari bangsa negara. Bayarlah kewajibanmu, asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah kita menghadap masa depan.”

Ia akan mengambil langkah tegas jika koruptor yang sudah diperingatkan tetap bandel, tidak patuh kepada hukum. “Tetapi kalau kau bandel terus, apa boleh buat, kita akan menegakkan hukum,” tambahnya. Prabowo juga menekankan pentingnya kesetiaan aparat hanya kepada bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.

Yang Penting Negara Untung

Untuk menjawab dan mengurai pemikiran Prabowo Subianto, saya akan menggunakan kerangka teori Richard A Posner (the economics of justice 1981). Posner adalah orang AS yang lahir pada 11 Januari 1933, yang awalnya sebagai dosen di Univ. Chiacago AS dan pernah diangkat sebagai hakim di Pengandilan banding tahun 1983-an.

Dalam teori yang banyak dikutip oleh sarjana hukum di Indonesia, dia dikenal sebagai bapak hukum ekonomi. Artinya, pelaksanaan hukum juga dapat dikompensasi terhadap nilai ekonomi. Ia memberikan contoh seorang pencuri (sebut koruptor) mencuri kalung untuk istrinya.

 

Nilai kalung sebut saja Rp100 juta, tetapi setelah koruptor itu ditangkap, biaya proses penangkapan, sidang hingga pemberian penjagaan dan pemberian fasilitas kesehatan dan makan bergizi bagi mereka lebih dari Rp200 juta.

 

Artinya negara mengalami dua kerugian sekaligus, yakni negara kehilangan uangnya dan keluarga pencuri itu menjadi miskin karena ayah sebagai kepala keluarga tak dapat hidup layak mencari uang untuk keluarganya. (A. Posner,1981:63).

Contoh Richard Posner juga dapat dibalik menjadi, harga emas dari Rp100 juta akan melonjak menjadi Rp250 juta. Proses pemidanaannya Rp100 dan denda atas pencurian emas itu Rp50juta. Dengan demikian, jika dendanya separuh dari nilai yang dicuri saja, negara masih untung.

Contoh yang paling anyar adalah kasus Harvey Moeis pidana korupsi di kasus timah yang diputus hanya 6,5 tahun, sementara kerugian negara ditaksir lebih dari Rp275 triliun, maka kerugian negara akan tambah besar jika aset terdakwa tidak dapat disita oleh negara.

Harvey yang didakwa dengan UU Korupsi No 20 Tahun 2001 Jo. UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, cukup berada di sel hanya 1/3 dari putusannya. Artinya, kurang dari 4 tahun yang bersangkutan sudah kembali ke masyarakat dan akan kembali sebagai seorang pengusaha.

Dalam pandangan Prabowo, hukuman seperti itu dinilai kurang adil dan tepat, pertama sumber filosofinya dari barat, dimana pada masa silam penjajah maunya menyiksa dan memenjarakan, tanpa mengkalkulasi kerugian uang negara dan kerugian rakyat atas proses hukuamnnya.

 

Oleh karenanya, perlu ada aturan baru yakni orang atau koruptor dipaksa untuk mengembalikan uangnya, jika tidak mau mengembalikan maka assetnya perlu dirampas untuk negara.

Inilah pemikiran progresif Prabowo dalam usaha memberntas korupsi dengan tetap menjadikan negara dan rakyat tetap untung atau tidak buntung.

Mengapa begitu? di mata Prabowo, pembuatan hukum dan pasal di masa silam masih dipenuhi dengan kebencian terhadap manusia, bukan kepada perbuatannya. Sebut saja pembuatan Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi: Sanksinya, Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan Pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Pasal itu dirujuk dalam Pasal 419 KUHP warisan kolonial.

Sekaratnya Demokrasi

Gagasan Prabowo tentang pemberantasan korupsi tidak harus berbanding lurus dengan sistem yang menganut demokrasi, di mana “doe process of law” adalah salah satu adagium, semua koruptor harus diproses sesuai dengn hukum yang berlaku dengan mempertimbangkan hak asasi manusia.

Sekilas pernyataan itu enak didengar, namun dalam pelaksanaanya, seolah menjadi pil pahit bagi rakyat miskin. Mengapa? Dalam sistem negara demokrasi ternyata ada juga demokrasi yang “sekarat”. Demokrasi sekarat atau matinya demokrasi, sebagaimana diulas oleh Steven Levitsky dan Daneil Ziblatt, “how Democrasies Die” atau matinya Demokrasi (Steven 2021).

 

Mereka menyebutkan matinya demokrasi antara lain ketika rakyat yang berkuasa, tetapi sesunguhnya kekuasaan itu dikendalikan oleh pemilik modal, pemilik media massa, para begundal hukum dan pimpinan partai.

Ziblatt mencontohkan, Fuji Mori, anak keturunan Jepang menjadi Presiden di Peru tahun 1990-an mengalahkan Vargas Lioasa, sastrawan Peru yang mendapatkan dukungan partai, konglomerat dan media massa setempat. Meskipun Fuji Mori sebagai presiden terpilih secara demokratis, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Dalam tahun pertamanya, tak satupun UU dapat dihasilkan.

 

Bahkan kebijakan apun yang disampaikan, dimentahkan oleh Mahkamah Agung karena telah dikuasai oleh para begundal hukum. Fuji Mori pernah mengatakan, “saya memerintah Peru sendirian di balik komputer (Steven,2021:56).

 

Akhirnya tak lama kemudian Fuji Mori dijatuhkan oleh lawan politiknya dengan cara seolah demokratis, tetapi sesunguhnya semua aturan dapat dimanipulasi oleh para taipan, tokoh partai dan begundal hukum. Sistem demokrasi seperti itu sama halnya sekaratnya demokrasi.

Oleh karena itu, dalam penegakan demokrasi dan hukum, Prabowo Subianto tampaknya tidak ingin seperti Fuji Mori. Ia boleh dijauhi dari para taipan, konglomerat dan media massa, tetapi rakyat dan TNI tetap kuat di belakangnya, maka akan banyak kebijakan untuk disampikan demi kepentingan rakyat dan negara. Seperti yang disebutkan, demokrasi kita bisa dikuasai pemodal.

Menurut saya, demokrasi saat ini ada di persimpangan jalan. Apakah demokrasi kita akan di-hijack,akan disandera oleh para kurawa? “Saya sudah keliling kesemua kabupaten di Indonesia. Di tahun 2014-2019 saya berkesempatan keliling ke ratusan kota dan kabupaten.

 

Di mana-mana rakyat mengaku sudah tak tahan lagi, terlalu banyak korupsi di negeri ini, banyak proyek dikorupsi, banyak orang disogok, banyak pemimpin mau dibeli dan mau disogok. Akhirnya tidak ada keadilan ekonomi.” (Prabowo,2022:89).

Keprihatian rakyat yang dirasakan Prabowo itu bagian penting dari kerangka teori yang menggagas pemberantasan korupsi di Indonesia yang kian akut. Dengan menyuruh orang bertobat, mengembalikan hasil korupsinya, jika tak ingin harta bendanya dirampas untuk negara dan rakyat.

Saya tahu ada orang yang tidak suka dengan konsepnya. “Saudara-saudara sekalian, yang nyinyir sama saya, silakan kau duduk saja di sebelah situ, ini belum apa-apa. Nanti, 6 bulan lagi, baru saudara boleh nilai pemerintah Prabowo Subianto,” katanya, (YouTube Sekpres, 2024).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Kabupaten Lahat 156 Tahun: “Ulang Tahun Atau Ulang-Ulang Masalah?”

Published

on

By

Oleh: Muchtarim

*Pemerhati Pemerintahan dan Jurnalis di Kabupaten Lahat

Setiap tahun, Kabupaten Lahat merayakan pertambahan usia. Tahun ini, angka 156 menjadi simbol kebanggaan sekaligus, seharusnya, cermin untuk bercermin. Namun di tengah gegap gempita seremoni dan baliho bertebaran—yang kadang lebih mewah dari manfaatnya—saya justru ingin mengajak kita semua mengangkat cermin yang lebih jujur: cermin evaluasi.

Mari kita bertanya dengan sederhana: apakah Lahat yang hari ini lebih baik dari kemarin, atau kita sekadar pandai merayakan usia tanpa mengukur usia itu telah diisi dengan apa?

Saya tahu, kata “evaluasi” kadang terdengar menakutkan bagi mereka yang lebih suka berdansa di atas tumpukan laporan kegiatan ketimbang mengukur dampaknya. Tapi di usia 156 tahun, saya kira cukup sudah kita berpesta tanpa muhasabah.

Sebagai pemerhati dan jurnalis yang sudah cukup lama mengamati denyut birokrasi Lahat, izinkan saya menyentil dengan lembut—dan jika perlu, menyengat dengan elegan.

Program-program kita, sudahkah benar-benar menyentuh rakyat atau sekadar menyentuh anggaran? Kegiatan pemerintah, apakah makin menjangkau kepentingan masyarakat atau hanya menjangkau tender-tender musiman? Apakah pelayanan publik kita makin mudah, atau justru makin rumit seperti benang kusut dalam map bersegel?

Kalau memang slogan BZ-WIN adalah “Menata Kota, Membangun Desa”, saya mohon maaf, izinkan saya bertanya: yang ditata kotanya atau kepentingan para pejabatnya? Yang dibangun desa-desa atau rumah dinas dan perjalanan dinas?

Saya tentu berharap baik. Bahwa setiap program yang dijalankan membawa efek domino yang positif: ekonomi masyarakat meningkat, pajak masuk, pembangunan berjalan. Tapi mari kita sepakati, efek domino hanya terjadi bila dominonya berdiri tegak, bukan ditumpuk sembarangan.

Maka pada momen 156 tahun ini, saya ingin mengajak para ASN—yang katanya Aparatur Sipil Negara, tapi kadang terlalu santai negara—untuk memiliki rasa malu. Malu kalau titel panjang tapi inovasi pendek. Malu kalau gelar profesor, magister, doktor, tapi tak mampu memberi solusi dari tumpukan masalah klasik: jalan rusak, pelayanan lambat, dan data bantuan sosial yang entah dari mana asalnya.

Kepala Dinas, Kepala Bidang, kepala apa pun: mohon jangan sekadar jadi kepala yang berat di atas leher, tapi jadilah pemimpin yang punya gagasan. Jangan hanya pandai membuat laporan pertanggungjawaban, tapi gagal membuat perubahan.

Kabupaten Lahat 156 tahun, bukan angka kecil. Usia yang lebih dari cukup untuk beranjak dari budaya seremonial menuju budaya substansi. Jika tidak, Lahat akan terus berulang tahun, tapi masalah juga ikut ulang tahun bersamanya—dengan kue dan lilin yang sama: janji-janji dan retorika.

Selamat ulang tahun, Kabupaten Lahat. Semoga bukan hanya umur yang bertambah, tapi juga kesadaran untuk berubah.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Taiwan Minta Dukungan Indonesia di Majelis Kesehatan Dunia (WHA)

Published

on

By

Oleh Bruce Hung*

*Bruce Hung adalah Kepala Perwakilan Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO) untuk Indonesia.

Taiwan selama ini terus berpartisipasi aktif dalam isu-isu kesehatan global dan berkomitmen mendukung sistem kesehatan global, sebab kerjasama global semakin menjadi kunci dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan.

Maka, jika Taiwan bisa berpartisipasi aktif dalam Majelis Kesehatan Dunia (WHA) serta dalam pertemuan, kegiatan, dan mekanisme yang diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diharapkan lebih banyak negara dapat mencapai tujuan cakupan kesehatan universal yang dicanangkan WHO.

Sampai sejauh ini WHO masih memimpin pembangunan kesehatan masyarakat global dan merupakan organisasi internasional penting yang menjunjung tinggi hak kesehatan semua orang.

Kendati demikian, Tiongkok terus memutarbalikkan dua resolusi, yaitu Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2758 dan Resolusi WHA25.1. Kenyataannya, kedua resolusi tersebut samasekali tidak menyebutkan Taiwan atau Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok.

Resolusi itu juga tidak memberikan hak kepada Republik Rakyat Tiongkok untuk mewakili Taiwan di WHO, sehingga jika terus mengecualikan Taiwan, WHO tidak hanya mengabaikan hak kesehatan 23 juta rakyat Taiwan, tetapi juga menghambat upaya pencegahan, kesiapan, dan penanganan global terhadap keadaan darurat kesehatan masyarakat internasional.

Mitra di kawasan Indo-Pasifik

Taiwan dan Indonesia sendiri adalah mitra di kawasan Indo-Pasifik yang berbagi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. Hubungan kedua belah pihak sangat erat yang dibuktikan dengan pertukaran intens dan konstan pada level antar masyarakat.

Saat ini terdapat 400.000 pelajar dan pekerja migran Indonesia yang tinggal di Taiwan, dan lebih dari 20.000 warga negara Taiwan yang tinggal untuk bekerja dan berbisnis di Indonesia. Jumlah kunjungan wisatawan antara Taiwan dan Indonesia pun setiap tahunnya mencapai 500.000 orang.

Dalam hubungan ini, ketidakikutsertaan Taiwan dalam WHO dan partisipasinya dalam pertemuan dan mekanisme terkait tidak hanya merugikan rakyat Taiwan, tetapi juga kesejahteraan dan kesehatan Warga Negara Indonesia (WNI) di Taiwan.

Kerugian tersebut dikarenakan tidak adanya akses sewaktu-waktu terhadap sumber daya dan informasi terkait penyakit menular serta tidak dapat bergabung dengan rantai pasokan dan jaringan logistik kesehatan masyarakat global, sehingga hal ini dapat menimbulkan risiko dan celah dalam jaringan keamanan kesehatan masyarakat global.

Taiwan sendiri telah mencapai kemajuan dan kontribusi signifikan dalam meningkatkan kesehatan universal, sehingga siap untuk berbagi pengalaman dan keahlian ini dengan negara manapun di dunia.

Saat ini Rumah Sakit National Taiwan University dan Rumah Sakit Far Eastern Memorial telah melakukan berbagai program kerja sama dengan institusi medis di Indonesia, meliputi pelatihan tenaga medis, pertukaran akademisi, dan penelitian klinis.

Tak mengenal batas negara

Sejak Pemerintah Indonesia mulai mendorong rekam medis elektronik (Electronic Medical Record/EMR) pada 2022, lebih dari 80 persen rumah sakit telah menyelesaikan pembangunan dan pengembangan kebutuhan perangkat lunak serta aplikasi terkait, seperti smart medical care, biomedis, dan aplikasi kecerdasan buatan generatif (generative AI).

Bidang ini, khususnya perangkat medis pintar (smart medical equipment) merupakan area yang secara umum diunggulkan oleh startup di Taiwan.

Pemerintah Taiwan juga bersedia berbagi pengalaman dengan Indonesia, seperti layanan medis pintar (smart medical) dan pengalaman kesehatan masyarakat yang berkualitas serta menyediakan berbagai kursus profesional mencakup sistem jaminan kesehatan, manajemen medis, dan perawatan klinis.

Tentunya dengan harapan dapat memperkuat kerja sama medis bilateral Indonesia-Taiwan dan membantu pengembangan industri medis demi mewujudkan visi kesehatan universal di Indonesia.

Sementara itu dalam mengantisipasi pandemi di masa depan, WHO merevisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) pada 2024, dan diharapkan dapat mengadopsi Perjanjian Pandemi (Pandemic Agreement) pada sesi ke-78 ini guna mempercepat pembentukan kerangka tata kelola penyakit global yang lebih komprehensif.

Taiwan saat ini memang belum dapat bergabung dengan WHO dan berpartisipasi dalam pertemuan dan mekanisme terkait, sehingga tidak dapat berpartisipasi secara langsung. Namun Taiwan tetap ingin aktif bertukar ilmu dan pengalaman dalam menangani pandemi serta belajar dari negara lain.

Selama COVID-19 Taiwan banyak mengadopsi langkah-langkah penanganan dan pencegahan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, mahadata (big data), dan jaringan pengawasan.

Selain itu, Taiwan turut menyumbangkan peralatan dan kebutuhan medis seperti tabung oksigen, ventilator, masker, pakaian isolasi, termometer, dan peralatan pandemi lainnya kepada negara-negara sahabat seperti Indonesia.

Dalam beberapa dekade terakhir, Taiwan pun telah meningkatkan sistem perawatan kesehatan dan kesehatan masyarakatnya sesuai dengan rekomendasi WHO.

Hal itu dicapai dengan memperkuat Pelayanan Kesehatan Primer (primary health care) dan kesehatan gigi, mencegah dan mengendalikan penyakit menular ataupun tidak menular, meningkatkan cakupan kesehatan universal, dan memberikan kontribusi pada keamanan kesehatan global.

WHO sendiri adalah organisasi kesehatan masyarakat internasional terpenting. Namun, hak kesehatan 23 juta rakyat Taiwan masih diabaikan oleh WHO karena faktor politik. Sehubungan dengan itu Taiwan mengimbau WHO untuk mengakui kontribusi jangka panjang Taiwan terhadap keamanan kesehatan global dan hak asasi manusia di bidang kesehatan.

Taiwan juga mendesak WHO dan berbagai kalangan di Indonesia untuk bersikap lebih terbuka dan fleksibel, berpegang pada prinsip profesionalisme dan inklusivitas serta secara proaktif dan pragmatis mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam Majelis Kesehatan Dunia (WHA).

Tentunya termasuk ikut serta dalam pertemuan, kegiatan, serta mekanisme yang diselenggarakan oleh WHO, seperti Perjanjian Pandemi WHO yang masih dalam tahap negosiasi.

Taiwan menyatakan kesediaannya untuk bekerjasama dengan semua negara di dunia untuk bersama-sama mewujudkan visi “Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia Mendasar” yang tertuang dalam Konstitusi WHO dan “Tidak meninggalkan siapa pun” dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.

Bagaimanapun, seiring meningkatnya perubahan global, tantangan dan ancaman kesehatan publik tidak mengenal batas negara, dan kerja sama global semakin menjadi kunci dalam menghadapi berbagai krisis kesehatan.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Efisiensi Anggaran Lahat Paling “Jempol”, Tapi Bukan untuk Dibelanjakan Sia-sia

Published

on

By

Oleh : Ishak Nasroni (Plt. Sekretaris SMSI Sumsel dan Pemred Lahathotline.com)

SETELAH resmi dilantik beberapa bulan lalu, Bupati Lahat Bursah Zarnubi, SE dan Wakil Bupati Lahat Widia Ningsih, SH, MH memulai aktivitasnya menjalankan roda pemerintahan selaku pemangku kebijakan di Bumi Seganti Setungguan. Salah satu kebijakan yang patut diacungi jempol dari program kerja Kabinet BZ-WIN adalah menginstruksikan kepada semua Stakeholder di semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lahat, agar “Ngirit” alias mengefisiensi Anggaran Daerah.

Tak dipungkiri kebijakan ini juga merupakan wujud kepatuhan BZ-WIN dalam mengikuti instruski Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang telah memotori kebijakan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti dituangkan dalam Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Beranjak dari regulasi tersebut, Pemerintahan BZ-WIN tak ragu untuk menerapkannya di Kabupaten Lahat. Bahkan berdasarkan penelusuran dari berbagai kanal internet, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lahat berani mengefisiensi APBDnya hingga merealokasi anggaran yang dilakukan mencapai Rp313 miliar dari total APBD sebesar Rp3,3 triliun. Ini adalah ‘Pengiritan” Anggaran yang sangat luar biasa dan patut diakui sebagai kebijakan efisiensi yang paling “Jempol”.

Sebagai seorang jurnalis sekaligus pengamat kebijakan daerah, penulis sangat mendukung program-program Kabinet BZ-WIN yang dikenal dangan jargonnya “Menata Kota Membangun Desa”. Tentunya, penataan kota dan pembangunan desa ini juga harus dibarengi dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di berbagai instansi terkait. Karenanya, Badan dan Dinas serta OPD lainnya mesti mampu menyusun strategi penataan dan pembangunan guna mewujudkan jargon tersebut.

Sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan SDM yang mumpuni, dipastikan para pegawai harus seimbang dengan berbagai regulasi dan perkembangan baru di tubuh instansinya. Namun demikian, dalam mendapatkan SDM yang memupuni tersebut tidak harus dengan mengadakan dan mengikuti Pelatihan atau Bimbingan Teknik (Bimtek) semata.

Anehnya pada Minggu, 27 April 2025 sampai Sabtu, 03 Mei 2025 untuk tahap awal sebanyak 92 Operator Desa di Kabupaten Lahat mengikuti pelatihan dan Bimtek Transaksi Non-Tunai yang dinakhodai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMDes) Kabupaten Lahat bekerja sama dengan Event Organizer (EO) Praja Sriwijaya berlokasi di Hotel Santika Kabupaten Lahat dan di Kota Malang, Jawa Timur.

Sementara untuk tahap berikutnya akan diselenggarakan pada pada Senin tanggal 9 Juni 2025 sampai dengan Minggu tanggal 15 Juni 2025 juga bertempat di Lahat dan Batu Malang Jawa Timur dengan peserta para Sekretaris Desa (Sekdes), Operator Siskeudes dan atau Perangkat yang membidangi.

Kendati biaya keberangkatan mengunakan Dana Desa lebih kurang Rp14.000.000 per peserta, namun uang yang digunakan tersebut tetap saja Uang Negara yang sudah ditransfer ke rekening desa dan selanjutnya disebut APBDes. Jika sudah menjadi APBDes, tak bisa dibantah bahwa itu Uang Rakyat di desa tersebut yang semata-mata mesti digunakan untuk kepentingan pembangunan desa secara fisik maupun non fisik.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 disebutkan bahwa Dana Desa harus digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pemanfaatan Dana Desa diatur lebih ketat melalui Peraturan Menteri Keuangan dan regulasi teknis lainnya, termasuk larangan penggunaan dana secara tidak efektif.

Jika disoroti dari aspek kepentingan kelancaran sistem keuangan desa, Bimtek ini sangat tidak perlu dilakukan. Karena untuk mendapatkan seorang perangkat yang mumpuni di bidangnya tidaklah susah. Kemudian apabila dipandang dari sisi kemanfaatan bagi pembangunan desa, juga sangat jauh mencapai dayagunanya bagi masyarakat desa secara umum. Bahkan dapat dikatakan, bahwa dana yang digunakan 14 juta yang dikutif dari APBDes tersebut adalah “Penyimpangan”.

Cara yang paling tepat dan efisien (Ngirit) dalam mengiringi kemajuan era degitalisasi dengan peralatan yang serba smart dan canggih sekarang ini, tidak susah Pemerintah Desa (Pemdes) di Kabupaten Lahat. Yaitu dengan melakukan rekrutmen perangkat secara selektif, tentunya SDM sudah menguasai bidang kerjanya masing-masing sehingga mampu untuk beradaptasi dalam setiap mengikuti kebijakan serta regulasi yang ada.

Untuk sekarang ini di setiap desa dipastikan banyak anak-anak muda bergelar Sarjana yang berprestasi, mampu mengoperasikan komputer dengan baik, mampu meginfut data-data keuangan dengan lancar. Hanya saja, pihak DPMDes dan Pemdes yang harus peka dalam menyerap setiap perubahan kebijakan Pemerintah Pusat. Setelah informasi perubahan kebijakan tersebut didapat oleh DPMDes dan Pemdes, maka segeralah beritahukan pada Perangkat Desanya untuk kemudian diterapkan di desa mereka.

Saya meyakini, kalau memang pihak Pemdes dan DPMDes mau melakukan langkah-langkah tersebut, maka tidak akan ada Dana Desa untuk membangun yang terbuang sia-sia terserap oleh biaya Pelatihan dan Bimtek, kecuali kegiatan tersebut sengaja didesaign hanya untuk mencapai keuntungan bagi sebagian pihak saja.

Dalam hal ini, tidak hanya persoalan yang tertuang pada narasi di atas saja yang perlu disikapi sedini mungkin oleh Bupati dan Wakil Bupati Lahat. Tapi mesti terus diingatkan pada semua OPD supaya tidak menggunakan dana sia-sia yang tidak mendesak serta berpotensi pada penyimpangan realisasi.

Apabila semua pihak terkait mengikuti instruksi Bupati dan Wakil Bupati tentang efisiensi sesuai dengan regulasi yang ada, maka dukungan terhadap Menata Kota Membangun Desa akan terwujud dengan tidak mengorbankan APBdes.

Akhir kata, saya selaku penulis menyampaikan pendapat ini tidak lain hanya untuk kebaikan Pemerintah dan Masyarakat Lahat semata. Tidak mendiskreditkan pihak lain, juga tidak mengandung unsur negatif.

Ditulis di Lahat : 2 Mei 2025

Bagikan Berita :
Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!