Connect with us

Opini

Serpihan Pemikiran Atraktif Prabowo Subianto Soal Pemberantasan Korupsi

Published

on

Catatan Akhir Tahun SMSI 2024:

Oleh: Theo Yusuf Ms, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan SMSI

“DAN saudara-saudara mengetahui bahwa Kemerdekaan daripada bangsa Indonesia itu sekedar hanyalah saya katakan berulang-ulang satu jembatan untuk menuju dan akhirnya mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang pokok yaitu, suatu masyarakat yang adil dan makmur.” (Amanat Presiden Soekarno 28 Agustus 1959)

Dalam pandangan Presiden Prabowo Subianto, untuk menjadikan masyarakat adil dan makmur, tidak perlu menjiplak ajaran dari “barat” atau negara-negara Amerika yang mengku sebagai kampiun demokrasi. Tetapi rakyat Indonesia dapat makmur dan bahagia jika kekayaan alam dan isinya itu tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang, atau hanya orang elite yang menguasai tanah dan seisinya dan seolah dia yang dapat menentukan arah kebijakan negara ini. Tidak, kata Prabowo.

Kesenjangan hidup kian menganga. “1 persen menguasai 36 peren dari kekayaan negara. Angka rasio gini Indonesa hanya 0,36 persen. Artinya, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 36 persen kekayaan sumber daya alam bangsa Indonesia yakni Rp16.8 triliun dari Rp44 triliun.” (Prabowo,2023:85).

Dengan demimian, sistem pemerintahan apapun yang akan diterapkan, apakah sistem demokrasi, sistem negara hukum atau gabungan demokrasi dan hukum di Indonesia, tidak mungkin dapat menghantarkan bangsa Indonesia hidup sejahtera (baldatul thoyibatun) seperti yang disampaikan Presiden Soekarno dan Bung Hatta dalam peringatan hari Kemerdekaan RI tahun 1959.

Oleh karenanya, Prabowo Subianto dalam mengawali pemerirntahannya, akan tegas kepada konglomerat yang tidak berpihak kepada rakyat, tegas dengan pejabat yang korup dan para pelayan publik yang menyengsarakan rakyat.

Terhadap sistem pencegahaan korupsi di Indonesia, Prabowo memberikan gagasan yang lebih atraktif, bagus dan simpel untuk dapat dilaksanakan oleh aparatus penegak hukum termasuk akan memberikan manfaat banyak kepada negara dan rakyat. Itulah sebab mengapa Ketua Media Siber Indonesia (SMSI) Firdaus, terus memberikan dukungan kepada Presiden Prabowo.

Jurus apakah konsep Prabowo dalam melakukan pemberantasan korupsi? Pertanyaan sederhana tetapi butuh kajian mendalam. Presiden Prabowo Subianto menawarkan kesempatan bertobat kepada para koruptor. Syaratnya, pelaku koruptor mengembalikan seluruh hasil korupsi kepada negara.

Hal itu disampaikan Prabowo saat memberikan kuiah umum dengan para mahasiswa Indonesia di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pertengahan Desember 2024.

“Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tetapi, kembalikan, dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya,” kata Prabowo (ant,2024).

Dalam pidato yang berlangsung lebih dari 30 menit, Presiden juga memberikan peringatan tegas kepada seluruh aparatur negara. “Hai kalian-kalian yang sudah terima fasilitas dari bangsa negara. Bayarlah kewajibanmu, asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah kita menghadap masa depan.”

Ia akan mengambil langkah tegas jika koruptor yang sudah diperingatkan tetap bandel, tidak patuh kepada hukum. “Tetapi kalau kau bandel terus, apa boleh buat, kita akan menegakkan hukum,” tambahnya. Prabowo juga menekankan pentingnya kesetiaan aparat hanya kepada bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.

Yang Penting Negara Untung

Untuk menjawab dan mengurai pemikiran Prabowo Subianto, saya akan menggunakan kerangka teori Richard A Posner (the economics of justice 1981). Posner adalah orang AS yang lahir pada 11 Januari 1933, yang awalnya sebagai dosen di Univ. Chiacago AS dan pernah diangkat sebagai hakim di Pengandilan banding tahun 1983-an.

Dalam teori yang banyak dikutip oleh sarjana hukum di Indonesia, dia dikenal sebagai bapak hukum ekonomi. Artinya, pelaksanaan hukum juga dapat dikompensasi terhadap nilai ekonomi. Ia memberikan contoh seorang pencuri (sebut koruptor) mencuri kalung untuk istrinya.

 

Nilai kalung sebut saja Rp100 juta, tetapi setelah koruptor itu ditangkap, biaya proses penangkapan, sidang hingga pemberian penjagaan dan pemberian fasilitas kesehatan dan makan bergizi bagi mereka lebih dari Rp200 juta.

 

Artinya negara mengalami dua kerugian sekaligus, yakni negara kehilangan uangnya dan keluarga pencuri itu menjadi miskin karena ayah sebagai kepala keluarga tak dapat hidup layak mencari uang untuk keluarganya. (A. Posner,1981:63).

Contoh Richard Posner juga dapat dibalik menjadi, harga emas dari Rp100 juta akan melonjak menjadi Rp250 juta. Proses pemidanaannya Rp100 dan denda atas pencurian emas itu Rp50juta. Dengan demikian, jika dendanya separuh dari nilai yang dicuri saja, negara masih untung.

Contoh yang paling anyar adalah kasus Harvey Moeis pidana korupsi di kasus timah yang diputus hanya 6,5 tahun, sementara kerugian negara ditaksir lebih dari Rp275 triliun, maka kerugian negara akan tambah besar jika aset terdakwa tidak dapat disita oleh negara.

Harvey yang didakwa dengan UU Korupsi No 20 Tahun 2001 Jo. UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, cukup berada di sel hanya 1/3 dari putusannya. Artinya, kurang dari 4 tahun yang bersangkutan sudah kembali ke masyarakat dan akan kembali sebagai seorang pengusaha.

Dalam pandangan Prabowo, hukuman seperti itu dinilai kurang adil dan tepat, pertama sumber filosofinya dari barat, dimana pada masa silam penjajah maunya menyiksa dan memenjarakan, tanpa mengkalkulasi kerugian uang negara dan kerugian rakyat atas proses hukuamnnya.

 

Oleh karenanya, perlu ada aturan baru yakni orang atau koruptor dipaksa untuk mengembalikan uangnya, jika tidak mau mengembalikan maka assetnya perlu dirampas untuk negara.

Inilah pemikiran progresif Prabowo dalam usaha memberntas korupsi dengan tetap menjadikan negara dan rakyat tetap untung atau tidak buntung.

Mengapa begitu? di mata Prabowo, pembuatan hukum dan pasal di masa silam masih dipenuhi dengan kebencian terhadap manusia, bukan kepada perbuatannya. Sebut saja pembuatan Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi: Sanksinya, Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan Pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Pasal itu dirujuk dalam Pasal 419 KUHP warisan kolonial.

Sekaratnya Demokrasi

Gagasan Prabowo tentang pemberantasan korupsi tidak harus berbanding lurus dengan sistem yang menganut demokrasi, di mana “doe process of law” adalah salah satu adagium, semua koruptor harus diproses sesuai dengn hukum yang berlaku dengan mempertimbangkan hak asasi manusia.

Sekilas pernyataan itu enak didengar, namun dalam pelaksanaanya, seolah menjadi pil pahit bagi rakyat miskin. Mengapa? Dalam sistem negara demokrasi ternyata ada juga demokrasi yang “sekarat”. Demokrasi sekarat atau matinya demokrasi, sebagaimana diulas oleh Steven Levitsky dan Daneil Ziblatt, “how Democrasies Die” atau matinya Demokrasi (Steven 2021).

 

Mereka menyebutkan matinya demokrasi antara lain ketika rakyat yang berkuasa, tetapi sesunguhnya kekuasaan itu dikendalikan oleh pemilik modal, pemilik media massa, para begundal hukum dan pimpinan partai.

Ziblatt mencontohkan, Fuji Mori, anak keturunan Jepang menjadi Presiden di Peru tahun 1990-an mengalahkan Vargas Lioasa, sastrawan Peru yang mendapatkan dukungan partai, konglomerat dan media massa setempat. Meskipun Fuji Mori sebagai presiden terpilih secara demokratis, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Dalam tahun pertamanya, tak satupun UU dapat dihasilkan.

 

Bahkan kebijakan apun yang disampaikan, dimentahkan oleh Mahkamah Agung karena telah dikuasai oleh para begundal hukum. Fuji Mori pernah mengatakan, “saya memerintah Peru sendirian di balik komputer (Steven,2021:56).

 

Akhirnya tak lama kemudian Fuji Mori dijatuhkan oleh lawan politiknya dengan cara seolah demokratis, tetapi sesunguhnya semua aturan dapat dimanipulasi oleh para taipan, tokoh partai dan begundal hukum. Sistem demokrasi seperti itu sama halnya sekaratnya demokrasi.

Oleh karena itu, dalam penegakan demokrasi dan hukum, Prabowo Subianto tampaknya tidak ingin seperti Fuji Mori. Ia boleh dijauhi dari para taipan, konglomerat dan media massa, tetapi rakyat dan TNI tetap kuat di belakangnya, maka akan banyak kebijakan untuk disampikan demi kepentingan rakyat dan negara. Seperti yang disebutkan, demokrasi kita bisa dikuasai pemodal.

Menurut saya, demokrasi saat ini ada di persimpangan jalan. Apakah demokrasi kita akan di-hijack,akan disandera oleh para kurawa? “Saya sudah keliling kesemua kabupaten di Indonesia. Di tahun 2014-2019 saya berkesempatan keliling ke ratusan kota dan kabupaten.

 

Di mana-mana rakyat mengaku sudah tak tahan lagi, terlalu banyak korupsi di negeri ini, banyak proyek dikorupsi, banyak orang disogok, banyak pemimpin mau dibeli dan mau disogok. Akhirnya tidak ada keadilan ekonomi.” (Prabowo,2022:89).

Keprihatian rakyat yang dirasakan Prabowo itu bagian penting dari kerangka teori yang menggagas pemberantasan korupsi di Indonesia yang kian akut. Dengan menyuruh orang bertobat, mengembalikan hasil korupsinya, jika tak ingin harta bendanya dirampas untuk negara dan rakyat.

Saya tahu ada orang yang tidak suka dengan konsepnya. “Saudara-saudara sekalian, yang nyinyir sama saya, silakan kau duduk saja di sebelah situ, ini belum apa-apa. Nanti, 6 bulan lagi, baru saudara boleh nilai pemerintah Prabowo Subianto,” katanya, (YouTube Sekpres, 2024).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Seruan Dukungan Partisipasi Taiwan ICAO

Published

on

By

Oleh Chen Shih-kai*

*Chen Shih-kai adalah Menteri Perhubungan dan Komunikasi Repulic of China (Taiwan).

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menyelenggarakan Sidang Majelis setiap tiga tahun sekali. Forum ini menjadi wadah penting untuk melakukan pertemuan multilateral dan diskusi dalam merumuskan regulasi serta standar penerbangan sipil global.

Hasil keputusan Sidang Majelis dipatuhi oleh negara-negara anggota guna menjamin pertumbuhan penerbangan sipil internasional yang aman, tertib, dan berkelanjutan.

Sidang Majelis ICAO ke-42 dijadwalkan berlangsung pada 23 September hingga 3 Oktober 2025 di markas ICA) di Montreal, Kanada, dengan mengusung rencana strategis jangka panjang bertajuk “Safe Skies, Sustainable Future”.

ICAO menekankan komitmen untuk bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan, baik negara anggota, nonanggota, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun sektor swasta untuk membangun sistem penerbangan internasional yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Sejalan dengan tujuan tersebut, Taiwan menyerukan agar ICAO memberi kesempatan bagi partisipasi penuh Taiwan dalam Sidang Majelis, pertemuan teknis, dan mekanisme lainnya guna menjamin kebutuhan keselamatan dan pembangunan penerbangan regional, sekaligus mewujudkan langit yang aman menuju masa depan berkelanjutan.

Pentingnya FIR Taipei

Wilayah Informasi Penerbangan Taipei (Taipei FIR) mencakup salah satu jalur udara tersibuk di Asia Timur, dan merupakan bagian integral dari lebih dari 300 FIR dalam jaringan ICAO. Dalam kaitan ini, Otoritas Penerbangan Sipil Taiwan (CAA) merupakan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab mengawasi FIR Taipei.

CAA menyediakan layanan informasi penerbangan yang komprehensif serta mengelola rute udara demi menjamin keselamatan dan efisiensi semua penerbangan yang masuk, keluar, maupun transit melalui wilayah ini.

Dari perspektif manajemen risiko dan keselamatan, ICAO seharusnya memberi kesempatan kepada CAA untuk berpartisipasi, sejajar dengan otoritas pengelola FIR lainnya. Hal ini penting agar FIR Taipei dapat berkomunikasi langsung dengan FIR lain maupun dengan ICAO, sehingga arus informasi dapat tersampaikan secara cepat dan tepat.

Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok kerap mendeklarasikan zona bahaya sementara, melakukan reservasi wilayah udara, dan menetapkan area latihan militer di FIR Taipei, meski tidak memiliki kewenangan atas wilayah tersebut.

Langkah ini dilakukan tanpa memenuhi ketentuan ICAO mengenai pemberitahuan minimal tujuh hari sebelumnya, sehingga menimbulkan gangguan serius terhadap keselamatan penerbangan, baik di FIR Taipei maupun di FIR sekitarnya.

Komitmen Taiwan bagi Penerbangan Global

Industri penerbangan internasional saat ini menghadapi beragam tantangan, baik yang bersumber dari faktor alam maupun ulah manusia, seperti perubahan iklim, krisis energi, hingga ketegangan geopolitik global.

Taiwan yang mengelola lalu lintas padat di FIR Taipei berupaya konsisten menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam komunitas penerbangan internasional.

CAA telah meluncurkan Program Keselamatan Negara (State Safety Program), mengadopsi standar ICAO, serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk membangun sistem pengawasan keselamatan. Hasilnya, Taiwan mencatat kinerja keselamatan yang sangat baik.

Khusus pada periode 2020 – 2024, tingkat kecelakaan pesawat bermesin turbofan maupun turboprop mencapai nol kasus per sejuta penerbangan.

Industri penerbangan Taiwan juga memperoleh pengakuan global. EVA Air, misalnya, dinobatkan sebagai salah satu maskapai layanan penuh paling aman di dunia oleh AirlineRatings.com, dan menempati peringkat ketujuh maskapai paling aman pada 2025.

Selain itu, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, CAA telah memasukkan Skema Pengimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA) ke dalam hukum nasional, serta meluncurkan program percontohan bahan bakar penerbangan berkelanjutan pada April 2025.

Langkah ini menegaskan tekad Taiwan untuk berkontribusi nyata dalam transformasi menuju target nol emisi bersih. Tetapi, meski berbagai upaya telah dilakukan, akses Taiwan terhadap informasi penting masih terbatas karena tidak diizinkan mengikuti pertemuan teknis maupun pelatihan yang diselenggarakan ICAO.

Dalam kaitan ini, sudah seharusnya ICAO menjalankan prinsip “No One Left Behind” dengan membuka ruang partisipasi yang setara bagi Taiwan.

Momentum Penting Merangkul Taiwan

Keselamatan penerbangan tidak mengenal batas negara. Selama puluhan tahun, Taiwan melalui CAA konsisten menegakkan standar tertinggi dalam pelayanan dan keselamatan di FIR Taipei, sekaligus mematuhi standar serta rekomendasi ICAO.

Sebagai bagian dari komunitas penerbangan internasional, Taiwan memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga keselamatan penerbangan regional maupun global.

Partisipasi Taiwan dalam ICAO akan memungkinkan kolaborasi yang lebih erat dengan negara-negara lain, sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi perkembangan penerbangan global dan kesejahteraan umat manusia.

Dengan tema “Safe Skies, Sustainable Future”, Sidang Majelis ICAO ke-42 menjadi momentum penting bagi organisasi ini untuk merangkul Taiwan.

Melalui partisipasi yang bermakna, Taiwan dapat berbagi keahlian profesional demi mewujudkan visi ICAO, yakni menciptakan langit yang lebih aman sekaligus masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan.

CAA Taiwan berkomitmen bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mengimplementasikan Standar dan Praktik yang Direkomendasikan (SARPs).

SMSI PUSAT

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Kapolri Mendahului Atau “Melawan” Presiden?

Published

on

By

Prof Henri Subiakto – Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia

Presiden Prabowo sedang menyiapkan agenda reformasi Polri sebagai respon tuntutan publik pasca-demo besar pada Agustus 2025.

Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang dikenal tegas, termasuk pernah menangani kasus Ferdy Sambo dan sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas serta Reformasi Kepolisian, sebelum dilantik, telah dinaikkan pangkatnya secara istimewa menjadi Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat).

Penunjukan itu disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang melibatkan tokoh luar seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk evaluasi menyeluruh.

Sementara Kapolri Listyo Sigit merespons cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal pada hari yang sama melalui Surat Perintahnya. Tim ini beranggotakan 52 perwira, diketuai Komjen Chryshnanda Dwilaksana dengan Listyo Sigit sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.

Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di pemerintahan Prabowo, upaya reformasi Polri jadi uji coba keseimbangan kekuasaan antara presiden, Polri,  genk Solo dan tuntutan publik.

Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya (lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989), jadi sinyal kuat, Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi secara langsung dari Istana.

Secara politik, akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin tegas yang ingin “membersihkan” institusi Polisi dari warisan  presiden Jokowi (di mana Listyo diangkat karena kedekatannya sejak dari Solo).

Kenaikan pangkat Jenderal Dofiri juga bisa dibaca sebagai sikap politik yg memilih loyalis di luar loyalis Listyo, mengingat Dofiri lebih senior dan dikenal tegas dan bukan gerbong yang dibina Listyo Sigit.

Dengan adanya Pembentukan tim internal Polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi dilihat sebagai langkah proaktif Polri “sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar, namun juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.

Ini upaya para pimpinan Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nantinya tidak “mengganggu” struktur hirarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.

Ini juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dengan Kapolri Listyo Sigit yg tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, namun di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai  sebagai upaya perlindungan posisi Kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.

Karena jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.

Tim internal bisa bermakna “pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana mana.

Reformasi institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Serta datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan berpendapat.

Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan  tidak tegas, lebih banyak omon omon.

Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda  soliditas kekuasaan Presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029.

Tapi keinginan politik itu nampaknya ada yang tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.

Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, “menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.

OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri sendiri karena memiliki  tujuan dan inisiator yang berbeda.*** (SMSI Pusat)

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Published

on

By

Oleh: Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas. Sebab RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan. Hal ini karena adanya beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.

RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.

Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.

Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.

Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.

Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini membalik beban pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.

Karena itu, saya menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari Istilah ‘tidak seimbang’, di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.

Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.

Begitu pula proses perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.

Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Kategori

Advertisement
Advertisement

Populer

error: Content is protected !!