Opini
Sebagai Tradisi, Perjalanan Tentang Kopi di Lahat
Oleh: Sofie (Penggiat Kopi)
LAHAT SUMSEL, MLCI – Tidak mungkin tulisan ini kumulai dari pada suatu hari bercerita tentang kopi, tapi kenyataannya seperti itu menggali perjalanan tentang kopi. Tradisi minum kopi hitam, pekat yang setelah berjalan waktu tinggal di Bumi Seganti Setungguan, Kabupaten Lahat barulah kuketahui adalah kopi tubruk robusta atau kopi Tupak (sebutan kopi Liberika) yang diseduh tubruk.
Perjalanan mengenal kopi dimulai sekitar pertengahan 2007 di Desa Tanjung Sirih, Kecamatan Pulau Pinang menuju Kompleks Situs Megalith Tanjung Sirih di atas bukit sekitar 400-600 MDPL, bersama Hamli (65 th) ketika itu sebagai juru pelihara (Jupel) situs. Menaiki tebing batu curam, lembab, hutan hujan tropis, dipenuhi batang kopi yang rimbun yang sebagian sudah dipanen. Ketika itu harga per kg kopi Rp 12.000 – Rp 18.000.
Suplai makanan di perjalanan habis, pulangnya kami singgah di rumah panggung Hamli. Di dapur yang belum lama ngirou (roasting kopi) kami mencicipi kopi yang kecoklatan, bersama ubi goreng.
“Minum kopi saat hujan seperti ini membantu menghangatkan tubuh. Supaya tidak masuk angin,” ujar Hamli yang bercerita pada penulis.
Kopi yang diseduhnya tidak menyebabkan asam lambung, menghangatkan tubuh. Kami baru tahu dengan takaran pas menambahkan jahe jadi pelepas masuk angin.
Sekitar tahun 2011 di awal Januari, penulis mengunjungi Desa Sumur, Kecamatan Pajar Bulan yang terpampang panorama kaki Gunung Dempo. Sekitar pukul 06.30 warung kopi dan gorengan yang ada sudah ramai bapak-bapak minum kopi di warung, dan makan gorengan. Di sebelah warung tempat penggilingan kopi. Harga 500 gr kopi bubuk kala itu Rp 30.000.
“Sehari kami ngopi paling sedikit tiga kali. Berbarengan dengan selesai sarapan, makan siang dan makan malam. Capek di Ladang sirna setelah ngopi,” cerita Putra (40 th) seorang warga yang mengantar penulis ke Situs Bilik Batu di Kecamatan Pajar Bulan.
Ketika itu penulis mulai merasakan perbedaan citarasa kopi, pada tiap daerah berbeda. Lahat Punya 24 Kecamatan, 360 Desa, 17 Kelurahan. Masing-masing punya khas tersendiri citarasa kopi dan campuran yang menjadi blend kopi seduhan mereka.
Pada peristiwa banjir bandang di Cughup Buluh (Air Terjun Buluh) di Desa Lubuk Selo, Kecamatan Gumay Ulu. Peristiwa banjir sekitar Februari 2016, selesai bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di desa tersebut kami singgah di warung kopi yang dikelola warga dan Pokdarwis di lahan sekitar 1.8 hektar dengan pemandangan air terjun dan sungai.
Ditemani Ahmad Yaumal Ketua Pokdarwis yang kini merupakan Kepala Desa Lubuk Selo. Mengalir cerita legenda setempat dan tradisi kopi. Penulis banyak berbincang dengan pemilik warung kopi, dirinya menyeduh kopi yang digoreng nya dicampur sedikit kacang tanah. Mengingatkan penulis pada Hazelnut Coffee di kafe terkenal yang dibanderol pergelasnya cukup mahal.
“Campuran beras, atau campuran jahe dan kacang tidak banyak. Tapi pas, kita tau pas sebab sudah dari turun temurun diajari orang tua kami membuat kopi,” jelas Yaumal.
Mungkin cerita-cerita menarik tentang kopi dari 360 desa di Laha. Yang sudah 80 persen disinggahi penulis, terurai sebagai tradisi turun temurun yang tentu ada perbedaan atau mungkin sama.
Menarik garis lurus dengan perbincangan bersama Bupati Lahat H Bursah Zarnubi SE tentang Kopi Lahat, dengan penulis. Ketertarikan akan pengembangan potensi perkebunan kopi yang menjadi pemasok terbesar di Sumatera Selatan (Sumsel) dan pemasok terbesar di Indonesia juga.
“Kopi Lahat itu punya potensi besar. Kita butuh ahli perkebunan kopi, hingga peracik kopi,” ungkap Bursah Zarnubi yang penikmat kopi.
Dirinya paham potensi terbesar ada pada Robusta di angka 80 persen, Kopi Arabika 10-15 persen dan hanya 5 persen untuk Kopi Liberika. Bursah juga mengharapkan dari 50 UMKM unggulan nantinya ada produk Kopi Lahat.
“Investor itu mencari Kopi Liberika, rupanya sangat sedikit potensi nya dari 54 ribu hektar kebun kopi di Kabupaten Lahat,” jelas Bursah Zarnubi.
Industri kopi Indonesia saat ini makin pesat. Lahan tidur yang tidak tertata di Kabupaten Lahat masih banyak. Potensi besar menanti dari hulu hingga ke hilir. Apalagi didukung dengan praktek pengelolaan kopi yang baik dari hulu hingga industri hilir kopi. Hanya saja harapannya tidak menghilangkan tradisi yang mengakar pada seduhan kopi juga dalam tampilannya.***