Opini
MENGENANG: SATU ABAD BATU BARA TANJUNG ENIM

Oleh : M. Goerillah Tan (Pemerhati Lingkungan)
SEBAGAI KATA ORANG BIJAK, bahwa mengenang perjuangan para sesepuh kita terdahulu adalah sebuah keniscayaan yang dapat menginspirasi para penerusnya untuk melanjutkan perjuangan yang telah dirintis menjadi lebih baik lagi.
Dan hal itu terjadi pula kepada batu bara yang banyak tersimpan di bumi Serasan Sekundang, persisnya di Tanjung Enim.
Pada periode tahun 1923 hingga 1940, Tambang Air Laya yang dikelola perusahaan Belanda mulai menggunakan metode penambangan bawah tanah. Dan pada periode tersebut mulai dilakukan produksi untuk kepentingan komersial, tepatnya sejak tahun 1938.
Namun sebelum itu batu bara telah dimanfaatkan oleh warga masyarakat Tanjung Enim sebagai bahan bakar di dapur-dapur keluarga. Sejalan dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan tingkat kecerdasan berfikir anak-anak pada zamannya lebih fokus memaksimalkan usaha untuk hidup lebih baik, apalagi kehidupan dimasa penjajahan yang serba sulit. Perlu usaha yang kreativ.
Adalah kakek buyut kami yang nama kecilnya Rebangun, lahir pada tahun 1838 didesa Asam Kelat (sekarang Singapure) Ogan Komering Ulu yang dimasa balitanya menjadi yatim kemudian dibawa hijrah oleh buyut perempuan mengikuti buyut laki sebagai “sambungan” di Tanjung Enim.
Dan di Tanjung Enim inilah kakek Rebangun yang masih balita memperoleh saudara tiri 2 orang yakni Renajab dan Benasib sebagai buah perkawinan buyut perempuan dari Ogan tersebut.
Kakek Rebangun yang kian besar mampu mengasuh adik-adiknya dengan baik, dilatihnya belajar berenang di sungai Enim dan dengan imajinasinya dia mulai tertarik dengan adanya lapisan batu berwarna hitam ditepi dan didasar sungai Enim.
Lalu dicobanya menggali batu bara yang tersingkap oleh gerusan air sungai yang bening selalu deras mengalir.
Dari tangan-tangan mereka terkumpul batu bara yang bermutu bagus cukup banyak Lalu dimasa remajanya itu pula kakek Rebangun mengajak adik-adiknya membuat rakit bambu dan memuatinya dengan batu bara yang digali dipinggir sungai tersebut untuk dibawa berlayar ke Palembang mengarungi sungai Enim, Lematang dan Musi.
Pelayaran disungai yang cukup melelahkan hingga 10 hari lebih, namun tak menyurutkan semangat ketiga remaja tersebut. Dan di Tanggo Buntung Palembang rakit bambu yang dinachodai kakek Rebangun dibantu adik-adiknya mendarat.
Batu bara dibeli oleh Wan Abud saudagar Arab dan bambu-bambunya dibeli oleh Toke Cina Atjuan yang memproduksi lampion di kawasan Tanggo Buntung.
Demikian masa mudanya kakek Rebangun dan adik-adiknya berjuang dan berikhtiar dibidang perdagangan guna mendapatkan gulden Belanda pada masa penjajahan itu. Diusia 20 tahun kakek Rebangun telah berkeluarga dengan mempersunting gadis pujaannya dari Muara Enim. Menurut catatan keluarga bahwa nenek adalah dari rumpun keluarga Pangeran Danal yang kala itu sangat disegani Belanda.
SUNGAI ENIM UNTUK TRANSPOT
Dari perkawinan kakek Rebangun dengan nenekda dari Muara Enim inilah lahir putra putrinya sebanyak 3 pasang yakni : Damang (sulung), Nangcik dan Tjik Olah (bungsu) serta 3 saudara perempuan lainnya.
Sejak itulah kakek Rebangun makin dikenal oleh pemerintah dan pengusaha Belanda karena usaha penjualan batubaranya dengan rakit berhasil baik dan lancar sehingga kekek menjadi pengusaha batu bara yang sukses dan bonafide kala itu.
Hingga beberapa tahun kemudian sekitar tahun 1860an kakek terpilih sebagai Kerio Tanjung Enim dan saking lamanya beliau menjabat (lebih dari 35 tahun) predikat nama beliau menjadi Rebangun Kerio.
Sebutan Kerio itu menjadi merek dagang kakek sebagai pengusaha batubara yang sukses. Sebelum kemerdekaan kakek Rebangun Kerio pergi haji katanah suci dengan kapal laut masa itu memerlukan waktu sekitar 4 bulan perjalanan.
Sepulangnya ketanah air kembali kakek Rebangun mendapat “gelar baru” sebagai H. Abdurahman yang mampu pula memotivasi putra putrinya untuk berhaji selagi usia muda.
Salah seorang putra kakek Rebangun Kerio ini adalah siputra bungsu yang bernama Tjik Olah berhasil pula melanjutkan usaha batu bara sang ayah yang selama bertahun selalu ikut berlayar dengan rakit bambu ke Palembang.
Seusai menjual habis batu bara berikut rakitnya, sang putra bungsu dan kakek Rebangun selalu setia pulang ke Tanjung Enim dengan naik sepur dari Kertapati.
Perjalanan rakit hampir 13 hari ditambah perjalan sepur kala itu hampir pula 3 hari menjadikan kesibukan tersendiri bagi Tjik Olah muda yang pada usia 20 tahun pula berhasil mempersunting seorang gadis nan jelita dari desa tepi Lematang yakni, Penanggiran yang menjadi ibu kandung penulis.
Ibunda Mursihu, bukan perempuan biasa.Dia sangat patuh dan setia kepada suami dan Dia gigih pula mengasuh, membesarkan anak-anaknya sebanyak 10 orang. Namun dengan kesibukan itu tidak mengurangi aktivitasnya untuk membantu suami yang kala itu telah menjadi pegawai TABA dan tidak lagi dapat melakukan penjualan batu bara dengan rakit.
Ayahda yang pegawai merangkap petani dan ibunda yang petani merangkap pedagang selalu rukun dan damai. Hal ini terjadi sejak penambangan batu bara secara komersil oleh TABA dengan dibukanya Tambang Air Laya sekitar tahun 1930an dalam masa penjajahan.
Terpaksa rela menjadi pegawai TABA namun Ayahda turut memperjuangkan kemerdekaan dengan menjadi kader PNI yang selalu menyuarakan kemerdekaan Indonesia melalui jalur politik yang di pimpin sang proklamator Bung Karno dan Bung Hatta.
Khusus di Sumatera Selatan ayahda Tjik Olah selalu mengikuti gerak langkah perjuangan Dr. A.K Gani yang gigih berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Dan dimasa-masa perjuangan itulah kaum politisi seperti ayahda sering ditangkap Belanda dan internir seperti Bung Karno.
Ayahda diinternir dibeberapa tempat seperti pernah di Bengkulu dan pernah pula di Boom Baru Palembang. Bahkan sewaktu kelahiran putranya yang ke 8 (Muhammad Goerillah) tahun 1950 yakni masa agressi Belanda ke 2.
Kala itu (sejak Agst 1949) masih diinternir di Boom Baru sehingga kelahiran putra ke 8 itu ibunda Mursihu berjuang dalam kesendirian antara hidup dan mati.
Kebetulan pula musim durian kala itu, ibunda secara adat ditugasi menunggu durian jatuh dikebun Pugok diseberang Lematang (Tanjung Pandan) dengan didampingi oleh putranya yang kedua (Muhammad Thamrin) yang kala itu baru berusia 13 tahun masih SMP (sore).
Persis dibulan Maulud itu tanggal 8 Januari 1950 putra ke 8 itu lahir dengan keadaan yang serba darurat ditengah kebun durian, jauh dari fasilitas kesehatan, jauh dari bidan apalagi dokter.
Sanitasi apa adanya saja, hanya Allah yang memberinya kemudahan.Dengan usaha dan perjuangan sang kakak Thamrin sang dukun berhasil dijemput dengan perahu menyeberang sungai Lematang karena bidan desa itu dari Ulak Bandung.
Dengan berperahu, si Thamrin kecil mendayung menyeberangi Lematang. Alhamdulilah kelahiran yang diridhoiNya berjalan baik dan lancar. Tembuni dan ari-ari sang putra dibersihkan dan dihanyutkan di sungai Lematang yang tenang mengalir.
Pada awal tahun 1955, kala itu usia penulis baru 5 tahun kakek Rebangun tercinta wafat dalam usia 117 tahun menyusuli nenek yang wafat dalam usia 105 tahun.
Kakek Rebangun Kerio selalu kami kenang. Walau usia penulis masih tergolong anak-anak kala itu, tapi ada suatu ungkapan kata yang terngiang ditelinga “cucungku goerillah, jadilah jeme besak yooo “ dan selalu kata-kata itu penulis ingat bak pepatah; tak lapuk dihujan dan tak lekang dipanas.
Demikian jika kata-kata bersayap itu dibisikkan dengan ikhlas dan doa tentu menjadi berkah diperjalanan hidup seorang cucu. ***) Goeril
Opini
Seruan Dukungan Partisipasi Taiwan ICAO

Oleh Chen Shih-kai*
*Chen Shih-kai adalah Menteri Perhubungan dan Komunikasi Repulic of China (Taiwan).
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menyelenggarakan Sidang Majelis setiap tiga tahun sekali. Forum ini menjadi wadah penting untuk melakukan pertemuan multilateral dan diskusi dalam merumuskan regulasi serta standar penerbangan sipil global.
Hasil keputusan Sidang Majelis dipatuhi oleh negara-negara anggota guna menjamin pertumbuhan penerbangan sipil internasional yang aman, tertib, dan berkelanjutan.
Sidang Majelis ICAO ke-42 dijadwalkan berlangsung pada 23 September hingga 3 Oktober 2025 di markas ICA) di Montreal, Kanada, dengan mengusung rencana strategis jangka panjang bertajuk “Safe Skies, Sustainable Future”.
ICAO menekankan komitmen untuk bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan, baik negara anggota, nonanggota, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun sektor swasta untuk membangun sistem penerbangan internasional yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Sejalan dengan tujuan tersebut, Taiwan menyerukan agar ICAO memberi kesempatan bagi partisipasi penuh Taiwan dalam Sidang Majelis, pertemuan teknis, dan mekanisme lainnya guna menjamin kebutuhan keselamatan dan pembangunan penerbangan regional, sekaligus mewujudkan langit yang aman menuju masa depan berkelanjutan.
Pentingnya FIR Taipei
Wilayah Informasi Penerbangan Taipei (Taipei FIR) mencakup salah satu jalur udara tersibuk di Asia Timur, dan merupakan bagian integral dari lebih dari 300 FIR dalam jaringan ICAO. Dalam kaitan ini, Otoritas Penerbangan Sipil Taiwan (CAA) merupakan satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab mengawasi FIR Taipei.
CAA menyediakan layanan informasi penerbangan yang komprehensif serta mengelola rute udara demi menjamin keselamatan dan efisiensi semua penerbangan yang masuk, keluar, maupun transit melalui wilayah ini.
Dari perspektif manajemen risiko dan keselamatan, ICAO seharusnya memberi kesempatan kepada CAA untuk berpartisipasi, sejajar dengan otoritas pengelola FIR lainnya. Hal ini penting agar FIR Taipei dapat berkomunikasi langsung dengan FIR lain maupun dengan ICAO, sehingga arus informasi dapat tersampaikan secara cepat dan tepat.
Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok kerap mendeklarasikan zona bahaya sementara, melakukan reservasi wilayah udara, dan menetapkan area latihan militer di FIR Taipei, meski tidak memiliki kewenangan atas wilayah tersebut.
Langkah ini dilakukan tanpa memenuhi ketentuan ICAO mengenai pemberitahuan minimal tujuh hari sebelumnya, sehingga menimbulkan gangguan serius terhadap keselamatan penerbangan, baik di FIR Taipei maupun di FIR sekitarnya.
Komitmen Taiwan bagi Penerbangan Global
Industri penerbangan internasional saat ini menghadapi beragam tantangan, baik yang bersumber dari faktor alam maupun ulah manusia, seperti perubahan iklim, krisis energi, hingga ketegangan geopolitik global.
Taiwan yang mengelola lalu lintas padat di FIR Taipei berupaya konsisten menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam komunitas penerbangan internasional.
CAA telah meluncurkan Program Keselamatan Negara (State Safety Program), mengadopsi standar ICAO, serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan industri untuk membangun sistem pengawasan keselamatan. Hasilnya, Taiwan mencatat kinerja keselamatan yang sangat baik.
Khusus pada periode 2020 – 2024, tingkat kecelakaan pesawat bermesin turbofan maupun turboprop mencapai nol kasus per sejuta penerbangan.
Industri penerbangan Taiwan juga memperoleh pengakuan global. EVA Air, misalnya, dinobatkan sebagai salah satu maskapai layanan penuh paling aman di dunia oleh AirlineRatings.com, dan menempati peringkat ketujuh maskapai paling aman pada 2025.
Selain itu, untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, CAA telah memasukkan Skema Pengimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA) ke dalam hukum nasional, serta meluncurkan program percontohan bahan bakar penerbangan berkelanjutan pada April 2025.
Langkah ini menegaskan tekad Taiwan untuk berkontribusi nyata dalam transformasi menuju target nol emisi bersih. Tetapi, meski berbagai upaya telah dilakukan, akses Taiwan terhadap informasi penting masih terbatas karena tidak diizinkan mengikuti pertemuan teknis maupun pelatihan yang diselenggarakan ICAO.
Dalam kaitan ini, sudah seharusnya ICAO menjalankan prinsip “No One Left Behind” dengan membuka ruang partisipasi yang setara bagi Taiwan.
Momentum Penting Merangkul Taiwan
Keselamatan penerbangan tidak mengenal batas negara. Selama puluhan tahun, Taiwan melalui CAA konsisten menegakkan standar tertinggi dalam pelayanan dan keselamatan di FIR Taipei, sekaligus mematuhi standar serta rekomendasi ICAO.
Sebagai bagian dari komunitas penerbangan internasional, Taiwan memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga keselamatan penerbangan regional maupun global.
Partisipasi Taiwan dalam ICAO akan memungkinkan kolaborasi yang lebih erat dengan negara-negara lain, sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi perkembangan penerbangan global dan kesejahteraan umat manusia.
Dengan tema “Safe Skies, Sustainable Future”, Sidang Majelis ICAO ke-42 menjadi momentum penting bagi organisasi ini untuk merangkul Taiwan.
Melalui partisipasi yang bermakna, Taiwan dapat berbagi keahlian profesional demi mewujudkan visi ICAO, yakni menciptakan langit yang lebih aman sekaligus masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan.
CAA Taiwan berkomitmen bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mengimplementasikan Standar dan Praktik yang Direkomendasikan (SARPs).
SMSI PUSAT
Opini
Kapolri Mendahului Atau “Melawan” Presiden?

Prof Henri Subiakto – Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia
Presiden Prabowo sedang menyiapkan agenda reformasi Polri sebagai respon tuntutan publik pasca-demo besar pada Agustus 2025.
Pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri, mantan Wakapolri yang dikenal tegas, termasuk pernah menangani kasus Ferdy Sambo dan sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas serta Reformasi Kepolisian, sebelum dilantik, telah dinaikkan pangkatnya secara istimewa menjadi Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat).
Penunjukan itu disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang melibatkan tokoh luar seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk evaluasi menyeluruh.
Sementara Kapolri Listyo Sigit merespons cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal pada hari yang sama melalui Surat Perintahnya. Tim ini beranggotakan 52 perwira, diketuai Komjen Chryshnanda Dwilaksana dengan Listyo Sigit sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.
Peristiwa ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di pemerintahan Prabowo, upaya reformasi Polri jadi uji coba keseimbangan kekuasaan antara presiden, Polri, genk Solo dan tuntutan publik.
Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya (lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989), jadi sinyal kuat, Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi secara langsung dari Istana.
Secara politik, akan memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin tegas yang ingin “membersihkan” institusi Polisi dari warisan presiden Jokowi (di mana Listyo diangkat karena kedekatannya sejak dari Solo).
Kenaikan pangkat Jenderal Dofiri juga bisa dibaca sebagai sikap politik yg memilih loyalis di luar loyalis Listyo, mengingat Dofiri lebih senior dan dikenal tegas dan bukan gerbong yang dibina Listyo Sigit.
Dengan adanya Pembentukan tim internal Polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi dilihat sebagai langkah proaktif Polri “sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar, namun juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.
Ini upaya para pimpinan Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nantinya tidak “mengganggu” struktur hirarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.
Ini juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dengan Kapolri Listyo Sigit yg tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, namun di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai sebagai upaya perlindungan posisi Kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.
Karena jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.
Tim internal bisa bermakna “pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana mana.
Reformasi institusi polisi datang pasca-pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Serta datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo, dan aktivitas kebebasan berpendapat.
Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan pada institusi polisi. Namun jika Presiden tidak mampu berbuat banyak dan Kapolri tetap Jenderal Listyosigit atau sosok yang disiapkannya, maka pemerintah Prabowo akan dianggap “tidak solid” dan tidak tegas, lebih banyak omon omon.
Artinya perkembangan dari peristiwa ini penting sebagai tanda soliditas kekuasaan Presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya, agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029.
Tapi keinginan politik itu nampaknya ada yang tidak suka. Disitulah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.
Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal, atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, “menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi Polisi secara menyeluruh di sisi yang lain.
OK kita pantau apa yang akan dilakukan Presiden dan perkembangan kedua tim dalam 2-3 minggu ke depan. Apa ada sinergi di antaranya, atau mereka jalan sendiri sendiri karena memiliki tujuan dan inisiator yang berbeda.*** (SMSI Pusat)
Opini
5 Pasal Kontroversi dan Multitafsir RUU Perampasan Aset

Oleh: Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang akan disahkan mendapat sorotan luas. Sebab RUU yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara untuk melawan korupsi dan kejahatan luar biasa itu bisa disalahgunakan. Hal ini karena adanya beberapa pasal yang kontroversi dan multitafsir.
RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 pasal yang harus dicermati karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki.
Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.
Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.
Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.
Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.
Yang juga penting untuk dicermati adalah prosedur perampasan (blokir, sita, pembuktian), di mana didalilkan setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan bahwa harta itu sah (reverse burden of proof). Ini membalik beban pembuktian ke rakyat. Risikonya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal.
Karena itu, saya menyarankan pembahasan RUU memperjelas definisi pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Mulai dari Istilah ‘tidak seimbang’, di mana harus punya ukuran objektif, laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Juga perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris, untuk ditegaskan bahwa harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.
Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk harus ada putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan, karena tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.
Begitu pula proses perampasan, harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik sehingga proses perampasan harus terbuka, diawasi media dan masyarakat. Negara juga harus menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.
Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan masif. Rakyat harus diedukasi agar tahu hak-haknya, sehingga tidak mudah ditakut-takuti. Karena ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi. Sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen.***
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
4 Pria dan 1 Wanita Terduga Pelaku Narkoba Diringkus Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Team Tiger Polres Lahat Kembali Tangkap Terduga Pembunuhan
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Dua Pasal Hukum, Dodo Arman Ditangkap Kasat Reskrim Polres Lahat
-
Peristiwa4 tahun ago
Pelajar Alami Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Depan SMKN 2 Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Hampir Dua Bulan Buron, Pembacok Diciduk Tim Satreskrim Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Komplotan Pelaku Narkoba Lahat Tengah Berhasil Ditangkap Polres Lahat
-
Hukum & Kriminal4 tahun ago
Langgar Aturan, Oknum Polres Lahat Diberhentikan Tidak Hormat
-
Hukum & Kriminal5 tahun ago
Soal Pembunuhan di Kikim Tengah, Pengacara Korban Angkat Bicara