Connect with us

Opini

Teror Kepada Pers, Teror Kepada Demokrasi

Published

on

Oleh TM Luthfi Yazid*

Mengapa pers sekelas Tempo mendapatkan teror? Apa sebab Tempo diintimidasi? Dimana letak kemerdekaan pers yang dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945? Apa implikasinya terhadap demokrasi dan klaim bahwa Indonesia adalah negara hukum?

Majalah legendaris Indonesia yang bernama Tempo mendapatkan teror dengan dikirimi kepala babi dan dikirimi bangkai tikus. Apa pelajaran dan hikmah dari kasus teror dan intimidasi kepada pers seperti ini?

Pertama, sudah jelas bahwa kemerdekaan pers dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945 mengenai kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran, baik lisan maupun tulisan.

UUD 1945 adalah sebuah perjanjian luhur antara negara dengan rakyatnya. Artinya jaminan konstitusional negara terhadap hak-hak rakyatnya  adalah sebuah keharusan.

Kedua, jika pers dalam melaksanakan tugasnya memuat berita yang dianggap keliru oleh siapa pun, maka ada Hak Jawab yang dijamin oleh UU Pers, UU No 40 Tahun 1999.

Artinya, mekanisme hukum yang ada ialah menyampaikan Hak Jawab, tidak boleh ada upaya menghakimi pers secara sepihak. Jika pun masih belum memuaskan, maka ada Dewan Pers yang dapat membantu “mengadili” perkara pemberitaan pers tersebut.

Ketiga, teror kepada pers mengingatkan kita pada masa lalu, yakni pers di masa Orde Baru. Saat itu apabila ada pers yang dianggap berseberangan atau mengkritik penguasa Orde Baru dan dianggap terlalu kritis, maka Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) media yang bersangkutan bisa dicabut.

Pencabutan SIUPP dilakukan oleh pemerintah yaitu Menteri Penerangan melalui Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 1 Tahun 1984 yang telah dicabut seiring dengan reformasi tahun 1998.

Dalam konteks ini kita jadi teringat dengan sebuah ungkapan bahwa pers itu pada hakekatnya diibaratkan sebuah “organisasi kentongan”.

Diibaratkan kentongan, maka apabila ada suatu bencana seperti kebakaran, banjir, kejahatan dan sebagainya, maka kentongan dibunyikan.

Dengan suara kentongan yang dibunyikan, masyarakat kampung akan menjadi sadar akan adanya bahaya atau adanya ancaman.

Dengan begitu masyarakat akan mengambil antisipasi atau tindakan untuk menghindar dari mara bahaya tersebut. Atau memadamkan kebakaran jika itu kebakaran.

Tugas pers di jaman disrupsi semakin tidak ringan. Perkembangan Artificial Intelligence (AI), munculnya Chat GPT, DeepSeek dan sebagainya membutuhkan peran pers yang semakin cerdas, bijak dan komprehensif.

Pers harus peka dan terlibat dalam memberikan masukan, peringatan dan alarm. Itu  sebuah keniscayaan. Ibaratkanlah kita ada dalam sebuah kapal laut yang sedang berlayar.

Jika ada orang atau sekelompok orang merusak atau membolongi bidak kapal sehingga air laut masuk kedalam kapal, maka apabila dibiarkan terus menerus lama kelamaan kapal akan tenggelam, dan kita semua menjadi korban.

Begitupun sebuah bangsa dan negara harus pula ada yang mengingatkan, mengkritik, dan memberi masukan. Itu harus dimaknai sebagai sebuah bentuk cinta kepada negara dan bangsa sesuai mandat Konstitusi.

Pers memang tidak sepatutnya hanya memuja-muji. Terhadap sebuah prestasi, termasuk prestasi pemerintah, maka wajarlah bila pers memberikan apreasiasi secara layak. Namun bukan menjilat.

Pers perlu memberikan kritik atau meluruskan jika ada ketidakadilan di tengah masyarakat atau ada “peyimpangan” dengan mengatasnamakan regulasi. Sebab, misalnya, boleh jadi ada korupsi tapi bukan dalam bentuk uang. Korupsinya dengan cara “merekayasa regulasi”.

Sepanjang sejarah pers Indonesia, sebenarnya pengekangan terhadap pers sudah ada sejak zaman kolonial. Pers yang ada di jaman penjajahan dikontrol dan diberangus dengan sebuah aturan hukum yang disebut Pressbreidel Ordonantie tahun 1931.

Dengan aturan hukum kala itu, apabila ada pers yang menentang atau mengkritik penguasa kolonial maka akan diberangus atau dimusnahkan.

Rupanya pemberangusan semacam itu merupakan ciri-ciri dari sebuah penguasa yang otoriter dimana pun dan kapan pun. Tak terlepas  juga di jaman Orde Lama maupun Orde Baru.

Tulisan-tulisan Akhmad Zaini Abar, penetili LP3Y, memberikan informasi sejarah yang lumayan lengkap tentang perilaku penguasa terhadap pers (1989, 1990) atau tulisan David T. Hill berjudul The Press in New Order Indonesia (1994).

Oleh sebab itu, jika pada zaman sekarang masih ada teror seperti dialami Tempo, dan tidak menutup kemungkinan akan dialami oleh media-media lainnya, maka hal seperti itu sudah sungguh sangat menyedihkan serta menjadi ancaman makin gelapnya demokrasi dan negara hukum di negeri tercinta ini.

Sekarang tergantung kita, seluruh komponen bangsa, apakah kita akan membiarkan teror atau segala macam bentuknya termasuk self-censorship ataukah kita perlu melakukan early warning system?

Jika teror seperti ini dibiarkan tentu akan sangat merugikan kita, termasuk pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang masih seumur jagung.

Sudah saatnya Presiden Prabowo bersuara dan bersikap tegas kepada siapa pun yang merongrong prinsip negara hukum dan demokrasi.

Bila ini dibiarkan tidak mustahil akan ada efek domino atas pemasungan dan pengekangan terhadap pers, baik kepercayaan dari dalam negeri maupun luar negeri, sebab sampai sekarang pun pers seharusnya ditempatkan  sebagai the fourth estate of democracy.

Suka tidak suka,  keberhasilan pemerintahan Presiden Prabowo membutuhkan dukungan dan peran pers.

Karena itu, siapa pun pencinta demokrasi, terkait kebebasan pers dan kebebasan berpendapat haruslah berpegang kepada apa yang pernah dikatakan Voltaire dalam buku The Friends of Voltaire (1906):

“Aku tidak sependapat dengan pendapatmu, tapi aku akan bela sampai mati hakmu untuk menyampaikan pendapatmu” (I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it).

*TM Luthfi Yazid adalah Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI). Penasihat Hukum Calon Presiden dalam Pilpres 2019 dan Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi.

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Kabupaten Lahat 156 Tahun: “Ulang Tahun Atau Ulang-Ulang Masalah?”

Published

on

By

Oleh: Muchtarim

*Pemerhati Pemerintahan dan Jurnalis di Kabupaten Lahat

Setiap tahun, Kabupaten Lahat merayakan pertambahan usia. Tahun ini, angka 156 menjadi simbol kebanggaan sekaligus, seharusnya, cermin untuk bercermin. Namun di tengah gegap gempita seremoni dan baliho bertebaran—yang kadang lebih mewah dari manfaatnya—saya justru ingin mengajak kita semua mengangkat cermin yang lebih jujur: cermin evaluasi.

Mari kita bertanya dengan sederhana: apakah Lahat yang hari ini lebih baik dari kemarin, atau kita sekadar pandai merayakan usia tanpa mengukur usia itu telah diisi dengan apa?

Saya tahu, kata “evaluasi” kadang terdengar menakutkan bagi mereka yang lebih suka berdansa di atas tumpukan laporan kegiatan ketimbang mengukur dampaknya. Tapi di usia 156 tahun, saya kira cukup sudah kita berpesta tanpa muhasabah.

Sebagai pemerhati dan jurnalis yang sudah cukup lama mengamati denyut birokrasi Lahat, izinkan saya menyentil dengan lembut—dan jika perlu, menyengat dengan elegan.

Program-program kita, sudahkah benar-benar menyentuh rakyat atau sekadar menyentuh anggaran? Kegiatan pemerintah, apakah makin menjangkau kepentingan masyarakat atau hanya menjangkau tender-tender musiman? Apakah pelayanan publik kita makin mudah, atau justru makin rumit seperti benang kusut dalam map bersegel?

Kalau memang slogan BZ-WIN adalah “Menata Kota, Membangun Desa”, saya mohon maaf, izinkan saya bertanya: yang ditata kotanya atau kepentingan para pejabatnya? Yang dibangun desa-desa atau rumah dinas dan perjalanan dinas?

Saya tentu berharap baik. Bahwa setiap program yang dijalankan membawa efek domino yang positif: ekonomi masyarakat meningkat, pajak masuk, pembangunan berjalan. Tapi mari kita sepakati, efek domino hanya terjadi bila dominonya berdiri tegak, bukan ditumpuk sembarangan.

Maka pada momen 156 tahun ini, saya ingin mengajak para ASN—yang katanya Aparatur Sipil Negara, tapi kadang terlalu santai negara—untuk memiliki rasa malu. Malu kalau titel panjang tapi inovasi pendek. Malu kalau gelar profesor, magister, doktor, tapi tak mampu memberi solusi dari tumpukan masalah klasik: jalan rusak, pelayanan lambat, dan data bantuan sosial yang entah dari mana asalnya.

Kepala Dinas, Kepala Bidang, kepala apa pun: mohon jangan sekadar jadi kepala yang berat di atas leher, tapi jadilah pemimpin yang punya gagasan. Jangan hanya pandai membuat laporan pertanggungjawaban, tapi gagal membuat perubahan.

Kabupaten Lahat 156 tahun, bukan angka kecil. Usia yang lebih dari cukup untuk beranjak dari budaya seremonial menuju budaya substansi. Jika tidak, Lahat akan terus berulang tahun, tapi masalah juga ikut ulang tahun bersamanya—dengan kue dan lilin yang sama: janji-janji dan retorika.

Selamat ulang tahun, Kabupaten Lahat. Semoga bukan hanya umur yang bertambah, tapi juga kesadaran untuk berubah.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Taiwan Minta Dukungan Indonesia di Majelis Kesehatan Dunia (WHA)

Published

on

By

Oleh Bruce Hung*

*Bruce Hung adalah Kepala Perwakilan Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO) untuk Indonesia.

Taiwan selama ini terus berpartisipasi aktif dalam isu-isu kesehatan global dan berkomitmen mendukung sistem kesehatan global, sebab kerjasama global semakin menjadi kunci dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan.

Maka, jika Taiwan bisa berpartisipasi aktif dalam Majelis Kesehatan Dunia (WHA) serta dalam pertemuan, kegiatan, dan mekanisme yang diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diharapkan lebih banyak negara dapat mencapai tujuan cakupan kesehatan universal yang dicanangkan WHO.

Sampai sejauh ini WHO masih memimpin pembangunan kesehatan masyarakat global dan merupakan organisasi internasional penting yang menjunjung tinggi hak kesehatan semua orang.

Kendati demikian, Tiongkok terus memutarbalikkan dua resolusi, yaitu Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2758 dan Resolusi WHA25.1. Kenyataannya, kedua resolusi tersebut samasekali tidak menyebutkan Taiwan atau Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok.

Resolusi itu juga tidak memberikan hak kepada Republik Rakyat Tiongkok untuk mewakili Taiwan di WHO, sehingga jika terus mengecualikan Taiwan, WHO tidak hanya mengabaikan hak kesehatan 23 juta rakyat Taiwan, tetapi juga menghambat upaya pencegahan, kesiapan, dan penanganan global terhadap keadaan darurat kesehatan masyarakat internasional.

Mitra di kawasan Indo-Pasifik

Taiwan dan Indonesia sendiri adalah mitra di kawasan Indo-Pasifik yang berbagi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. Hubungan kedua belah pihak sangat erat yang dibuktikan dengan pertukaran intens dan konstan pada level antar masyarakat.

Saat ini terdapat 400.000 pelajar dan pekerja migran Indonesia yang tinggal di Taiwan, dan lebih dari 20.000 warga negara Taiwan yang tinggal untuk bekerja dan berbisnis di Indonesia. Jumlah kunjungan wisatawan antara Taiwan dan Indonesia pun setiap tahunnya mencapai 500.000 orang.

Dalam hubungan ini, ketidakikutsertaan Taiwan dalam WHO dan partisipasinya dalam pertemuan dan mekanisme terkait tidak hanya merugikan rakyat Taiwan, tetapi juga kesejahteraan dan kesehatan Warga Negara Indonesia (WNI) di Taiwan.

Kerugian tersebut dikarenakan tidak adanya akses sewaktu-waktu terhadap sumber daya dan informasi terkait penyakit menular serta tidak dapat bergabung dengan rantai pasokan dan jaringan logistik kesehatan masyarakat global, sehingga hal ini dapat menimbulkan risiko dan celah dalam jaringan keamanan kesehatan masyarakat global.

Taiwan sendiri telah mencapai kemajuan dan kontribusi signifikan dalam meningkatkan kesehatan universal, sehingga siap untuk berbagi pengalaman dan keahlian ini dengan negara manapun di dunia.

Saat ini Rumah Sakit National Taiwan University dan Rumah Sakit Far Eastern Memorial telah melakukan berbagai program kerja sama dengan institusi medis di Indonesia, meliputi pelatihan tenaga medis, pertukaran akademisi, dan penelitian klinis.

Tak mengenal batas negara

Sejak Pemerintah Indonesia mulai mendorong rekam medis elektronik (Electronic Medical Record/EMR) pada 2022, lebih dari 80 persen rumah sakit telah menyelesaikan pembangunan dan pengembangan kebutuhan perangkat lunak serta aplikasi terkait, seperti smart medical care, biomedis, dan aplikasi kecerdasan buatan generatif (generative AI).

Bidang ini, khususnya perangkat medis pintar (smart medical equipment) merupakan area yang secara umum diunggulkan oleh startup di Taiwan.

Pemerintah Taiwan juga bersedia berbagi pengalaman dengan Indonesia, seperti layanan medis pintar (smart medical) dan pengalaman kesehatan masyarakat yang berkualitas serta menyediakan berbagai kursus profesional mencakup sistem jaminan kesehatan, manajemen medis, dan perawatan klinis.

Tentunya dengan harapan dapat memperkuat kerja sama medis bilateral Indonesia-Taiwan dan membantu pengembangan industri medis demi mewujudkan visi kesehatan universal di Indonesia.

Sementara itu dalam mengantisipasi pandemi di masa depan, WHO merevisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) pada 2024, dan diharapkan dapat mengadopsi Perjanjian Pandemi (Pandemic Agreement) pada sesi ke-78 ini guna mempercepat pembentukan kerangka tata kelola penyakit global yang lebih komprehensif.

Taiwan saat ini memang belum dapat bergabung dengan WHO dan berpartisipasi dalam pertemuan dan mekanisme terkait, sehingga tidak dapat berpartisipasi secara langsung. Namun Taiwan tetap ingin aktif bertukar ilmu dan pengalaman dalam menangani pandemi serta belajar dari negara lain.

Selama COVID-19 Taiwan banyak mengadopsi langkah-langkah penanganan dan pencegahan dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, mahadata (big data), dan jaringan pengawasan.

Selain itu, Taiwan turut menyumbangkan peralatan dan kebutuhan medis seperti tabung oksigen, ventilator, masker, pakaian isolasi, termometer, dan peralatan pandemi lainnya kepada negara-negara sahabat seperti Indonesia.

Dalam beberapa dekade terakhir, Taiwan pun telah meningkatkan sistem perawatan kesehatan dan kesehatan masyarakatnya sesuai dengan rekomendasi WHO.

Hal itu dicapai dengan memperkuat Pelayanan Kesehatan Primer (primary health care) dan kesehatan gigi, mencegah dan mengendalikan penyakit menular ataupun tidak menular, meningkatkan cakupan kesehatan universal, dan memberikan kontribusi pada keamanan kesehatan global.

WHO sendiri adalah organisasi kesehatan masyarakat internasional terpenting. Namun, hak kesehatan 23 juta rakyat Taiwan masih diabaikan oleh WHO karena faktor politik. Sehubungan dengan itu Taiwan mengimbau WHO untuk mengakui kontribusi jangka panjang Taiwan terhadap keamanan kesehatan global dan hak asasi manusia di bidang kesehatan.

Taiwan juga mendesak WHO dan berbagai kalangan di Indonesia untuk bersikap lebih terbuka dan fleksibel, berpegang pada prinsip profesionalisme dan inklusivitas serta secara proaktif dan pragmatis mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam Majelis Kesehatan Dunia (WHA).

Tentunya termasuk ikut serta dalam pertemuan, kegiatan, serta mekanisme yang diselenggarakan oleh WHO, seperti Perjanjian Pandemi WHO yang masih dalam tahap negosiasi.

Taiwan menyatakan kesediaannya untuk bekerjasama dengan semua negara di dunia untuk bersama-sama mewujudkan visi “Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia Mendasar” yang tertuang dalam Konstitusi WHO dan “Tidak meninggalkan siapa pun” dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.

Bagaimanapun, seiring meningkatnya perubahan global, tantangan dan ancaman kesehatan publik tidak mengenal batas negara, dan kerja sama global semakin menjadi kunci dalam menghadapi berbagai krisis kesehatan.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Efisiensi Anggaran Lahat Paling “Jempol”, Tapi Bukan untuk Dibelanjakan Sia-sia

Published

on

By

Oleh : Ishak Nasroni (Plt. Sekretaris SMSI Sumsel dan Pemred Lahathotline.com)

SETELAH resmi dilantik beberapa bulan lalu, Bupati Lahat Bursah Zarnubi, SE dan Wakil Bupati Lahat Widia Ningsih, SH, MH memulai aktivitasnya menjalankan roda pemerintahan selaku pemangku kebijakan di Bumi Seganti Setungguan. Salah satu kebijakan yang patut diacungi jempol dari program kerja Kabinet BZ-WIN adalah menginstruksikan kepada semua Stakeholder di semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lahat, agar “Ngirit” alias mengefisiensi Anggaran Daerah.

Tak dipungkiri kebijakan ini juga merupakan wujud kepatuhan BZ-WIN dalam mengikuti instruski Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang telah memotori kebijakan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti dituangkan dalam Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Beranjak dari regulasi tersebut, Pemerintahan BZ-WIN tak ragu untuk menerapkannya di Kabupaten Lahat. Bahkan berdasarkan penelusuran dari berbagai kanal internet, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lahat berani mengefisiensi APBDnya hingga merealokasi anggaran yang dilakukan mencapai Rp313 miliar dari total APBD sebesar Rp3,3 triliun. Ini adalah ‘Pengiritan” Anggaran yang sangat luar biasa dan patut diakui sebagai kebijakan efisiensi yang paling “Jempol”.

Sebagai seorang jurnalis sekaligus pengamat kebijakan daerah, penulis sangat mendukung program-program Kabinet BZ-WIN yang dikenal dangan jargonnya “Menata Kota Membangun Desa”. Tentunya, penataan kota dan pembangunan desa ini juga harus dibarengi dengan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di berbagai instansi terkait. Karenanya, Badan dan Dinas serta OPD lainnya mesti mampu menyusun strategi penataan dan pembangunan guna mewujudkan jargon tersebut.

Sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan SDM yang mumpuni, dipastikan para pegawai harus seimbang dengan berbagai regulasi dan perkembangan baru di tubuh instansinya. Namun demikian, dalam mendapatkan SDM yang memupuni tersebut tidak harus dengan mengadakan dan mengikuti Pelatihan atau Bimbingan Teknik (Bimtek) semata.

Anehnya pada Minggu, 27 April 2025 sampai Sabtu, 03 Mei 2025 untuk tahap awal sebanyak 92 Operator Desa di Kabupaten Lahat mengikuti pelatihan dan Bimtek Transaksi Non-Tunai yang dinakhodai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BPMDes) Kabupaten Lahat bekerja sama dengan Event Organizer (EO) Praja Sriwijaya berlokasi di Hotel Santika Kabupaten Lahat dan di Kota Malang, Jawa Timur.

Sementara untuk tahap berikutnya akan diselenggarakan pada pada Senin tanggal 9 Juni 2025 sampai dengan Minggu tanggal 15 Juni 2025 juga bertempat di Lahat dan Batu Malang Jawa Timur dengan peserta para Sekretaris Desa (Sekdes), Operator Siskeudes dan atau Perangkat yang membidangi.

Kendati biaya keberangkatan mengunakan Dana Desa lebih kurang Rp14.000.000 per peserta, namun uang yang digunakan tersebut tetap saja Uang Negara yang sudah ditransfer ke rekening desa dan selanjutnya disebut APBDes. Jika sudah menjadi APBDes, tak bisa dibantah bahwa itu Uang Rakyat di desa tersebut yang semata-mata mesti digunakan untuk kepentingan pembangunan desa secara fisik maupun non fisik.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 disebutkan bahwa Dana Desa harus digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pemanfaatan Dana Desa diatur lebih ketat melalui Peraturan Menteri Keuangan dan regulasi teknis lainnya, termasuk larangan penggunaan dana secara tidak efektif.

Jika disoroti dari aspek kepentingan kelancaran sistem keuangan desa, Bimtek ini sangat tidak perlu dilakukan. Karena untuk mendapatkan seorang perangkat yang mumpuni di bidangnya tidaklah susah. Kemudian apabila dipandang dari sisi kemanfaatan bagi pembangunan desa, juga sangat jauh mencapai dayagunanya bagi masyarakat desa secara umum. Bahkan dapat dikatakan, bahwa dana yang digunakan 14 juta yang dikutif dari APBDes tersebut adalah “Penyimpangan”.

Cara yang paling tepat dan efisien (Ngirit) dalam mengiringi kemajuan era degitalisasi dengan peralatan yang serba smart dan canggih sekarang ini, tidak susah Pemerintah Desa (Pemdes) di Kabupaten Lahat. Yaitu dengan melakukan rekrutmen perangkat secara selektif, tentunya SDM sudah menguasai bidang kerjanya masing-masing sehingga mampu untuk beradaptasi dalam setiap mengikuti kebijakan serta regulasi yang ada.

Untuk sekarang ini di setiap desa dipastikan banyak anak-anak muda bergelar Sarjana yang berprestasi, mampu mengoperasikan komputer dengan baik, mampu meginfut data-data keuangan dengan lancar. Hanya saja, pihak DPMDes dan Pemdes yang harus peka dalam menyerap setiap perubahan kebijakan Pemerintah Pusat. Setelah informasi perubahan kebijakan tersebut didapat oleh DPMDes dan Pemdes, maka segeralah beritahukan pada Perangkat Desanya untuk kemudian diterapkan di desa mereka.

Saya meyakini, kalau memang pihak Pemdes dan DPMDes mau melakukan langkah-langkah tersebut, maka tidak akan ada Dana Desa untuk membangun yang terbuang sia-sia terserap oleh biaya Pelatihan dan Bimtek, kecuali kegiatan tersebut sengaja didesaign hanya untuk mencapai keuntungan bagi sebagian pihak saja.

Dalam hal ini, tidak hanya persoalan yang tertuang pada narasi di atas saja yang perlu disikapi sedini mungkin oleh Bupati dan Wakil Bupati Lahat. Tapi mesti terus diingatkan pada semua OPD supaya tidak menggunakan dana sia-sia yang tidak mendesak serta berpotensi pada penyimpangan realisasi.

Apabila semua pihak terkait mengikuti instruksi Bupati dan Wakil Bupati tentang efisiensi sesuai dengan regulasi yang ada, maka dukungan terhadap Menata Kota Membangun Desa akan terwujud dengan tidak mengorbankan APBdes.

Akhir kata, saya selaku penulis menyampaikan pendapat ini tidak lain hanya untuk kebaikan Pemerintah dan Masyarakat Lahat semata. Tidak mendiskreditkan pihak lain, juga tidak mengandung unsur negatif.

Ditulis di Lahat : 2 Mei 2025

Bagikan Berita :
Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!