Connect with us

Opini

Taiwan Belum Bisa Gabung WHO, Tapi Siap Berbagi dan Minta Dukungan Indonesia

Published

on

Oleh John Chen*

Penulis adalah Kepala Perwakilan Kantor Perdagangan dan Ekonomi Taipei (TETO) di Indonesia.

Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa pandemi Covid-19 bukan lagi sebuah “Darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia”, kegiatan ekonomi dan perdagangan internasional secara bertahap kembali normal.

Negara-negara telah belajar dari pengalaman Covid-19 tentang pentingnya pendekatan “One Health” (Satu Kesehatan) untuk sedini mungkin menanggapi kemungkinan pandemi terulang kembali di masa depan.

WHO berencana untuk merevisi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) saat ini dan secara aktif membahas perumusan Perjanjian Pandemi (Pandemic Agreement) untuk mempercepat pembentukan kerangka tata kelola penyakit global yang lebih komprehensif.

Taiwan sendiri saat ini belum dapat bergabung dengan WHO dan belum bisa berpartisipasi dalam pertemuan dan mekanisme terkait serta tidak dapat berpartisipasi secara langsung dalam merevisi ketentuan IHR atau penyusunan perjanjian pandemi.

Meski demikian Taiwan tetap ingin secara aktif berbagi pengalaman dalam memerangi epidemi dan belajar dari negara lain. Selama periode Covid-19 Taiwan telah mengadopsi tindakan pencegahan yang menggunakan kecerdasan buatan, big data, dan jaringan pengawasan.

Taiwan juga menyumbangkan tabung oksigen, respirator, masker, pakaian APD, termometer, dan peralatan medis serta bahan pencegahan epidemi lainnya ke negara-negara sahabat seperti Indonesia.

Dalam beberapa dekade terakhir Taiwan telah meningkatkan pelayanan medis dan sistem kesehatan masyarakat sesuai rekomendasi WHO, termasuk memperkuat layanan kesehatan primer dan kesehatan mulut, pencegahan dan pengobatan penyakit menular dan tidak menular, dan berupaya meningkatkan cakupan kesehatan nasional sebagai bentuk kontribusi pada keselamatan kesehatan global.

Sementara itu WHO memimpin pengembangan kesehatan masyarakat global dan merupakan organisasi internasional utama yang membela hak atas kesehatan semua orang.

Namun karena pertimbangan politik yang tidak masuk akal, WHO terus mengecualikan Taiwan yang berarti tidak hanya mengabaikan hak atas kesehatan 23 juta penduduk Taiwan, tetapi juga menghambat pencegahan, persiapan, dan tanggapan global dalam menghadapi darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.

Khusus dengan Indonesia, Taiwan memiliki hubungan persahabatan dan pertukaran antar masyarakat yang sangat erat. Saat ini terdapat 400.000 pelajar dan pekerja migran Indonesia yang tinggal di Taiwan dan lebih dari 20.000 warga negara Taiwan yang tinggal di Indonesia untuk bekerja dan berbisnis. Sementara itu pertukaran wisatawan Taiwan-Indonesia setiap tahun mencapai hampir 500.000 orang.

Tidak seperti Indonesia, sampai saat ini Taiwan belum dapat bergabung dengan WHO dan berpartisipasi dalam konferensi dan mekanisme yang relevan. Taiwan juga tidak dapat memperoleh informasi dan sumber daya mengenai penyakit epidemi serta tidak dapat bergabung dengan rantai pasokan dan jaringan logistik kesehatan masyarakat global.

Konsekuensinya terbentuk kesenjangan dalam jaringan keselamatan kesehatan masyarakat dan menciptakan resiko dalam pencegahan epidemi global, serta merugikan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat Taiwan dan Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, Taiwan telah membuat kemajuan dan kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan kesehatan nasional. Taiwan juga bersedia berbagi pengalaman dan keahlian medis dengan dunia internasional.

Saat ini Rumah Sakit National Taiwan University dan Rumah Sakit Far Eastern Memorial bahkan telah melaksanakan berbagai proyek kerja sama dengan institusi medis Indonesia, antara lain berupa pelatihan tenaga medis, pertukaran akademis, dan penelitian klinis.

Selain itu, menanggapi rencana baru Pemerintah Indonesia untuk menyeleksi dan mengirim 10.000 tenaga medis yang akan mengikuti pelatihan di luar negeri, Taiwan bersedia berbagi pengalaman dalam pelayanan medis tingkat tinggi dan kesehatan masyarakat.

Taiwan juga siap menyediakan berbagai pelatihan profesional seperti asuransi kesehatan, manajemen medis, dan kedokteran klinis. Taiwan berharap dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan Indonesia di bidang medis untuk membantu Indonesia mewujudkan visi kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Taiwan sejatinya telah membantu WHO dalam menerapkan “Hak atas Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia”, tetapi hak kesehatan 23 juta penduduk Taiwan telah diabaikan oleh WHO karena faktor politik.

Dalam kaitan ini, kami menyerukan kepada WHO dan mengajak seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk melihat kontribusi jangka panjang Taiwan terhadap keselamatan kesehatan global dan hak asasi manusia di bidang kesehatan.

Kami juga mendesak WHO untuk mempertahankan sikap terbuka dan fleksibel, menjunjung tinggi prinsip toleransi dan profesionalisme, serta secara proaktif dan pragmatis mengundang Taiwan untuk berpartisipasi dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHA).

Taiwan juga berkeinginan dan siap berpartisipasi dalam pertemuan, kegiatan dan mekanisme yang diadakan oleh WHO, termasuk Perjanjian Pandemi WHO yang sedang dinegosiasikan.

Taiwan bersedia bekerja sama dengan semua negara di seluruh dunia untuk mewujudkan visi piagam WHO bahwa “Kesehatan merupakan hak asasi manusia” dan tujuan pembangunan berkelanjutan PBB adalah untuk “tidak meninggalkan siapa pun”.

Jaringan keselamatan kesehatan global dapat dibangun sepenuhnya dengan mengikutsertakan Taiwan. Dalam kaitan ini pula kami mengajak seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk mendukung partisipasi Taiwan dalam Sidang WHA dan dalam semua pertemuan, kegiatan, dan mekanisme WHO.***

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Ulang Tahun SMSI: Sewindu Mengarungi Disrupsi Multidimensi

Published

on

By

Oleh: Firdaus, Ketua Umum SMSI

DISRUPSI teknologi kian menjadi-jadi ketika organisasi pers Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) genap berusia sewindu pada Jumat, 7 Maret 2025.

Disrupsi tidak kunjung mereda, bahkan memasuki babak baru: disrupsi multidimensi. Ciri multidimensi ditandai dengan serangan dari berbagai sisi.

Dari berbagai sisi media dilumpuhkan satu sama lain. Dari sisi bisnis, keredaksian, jurnalisme, distribusi dan sistem pemasaran.

Persaingan antar platform media tidak terelakkan. Persaingan semakin luas antar perusahaan pers, media sosial, dan bahkan media global, seperti google, dan facebook.

Terjadi begal-membegal konten media, tanpa menghiraukan etika. Siapa yang memproduksi konten, dan siapa yang mereguk keuntungan tidak ada aturan main yang jelas.

Media platform cetak tergerus oleh platform televisi dan online. Media televisi terganggu media sosial dengan berbagai layanan aplikasi, seperti youtube.

Media global platform digitial seperti google juga ikut mendistribusikan berita dan mengambil banyak iklan.  Artificial Intelligence (AI) yang mendaur ulang informasi, turut menawarkan kerja jurnalisme, termasuk mengolah informasi menjadi karya tulis.

Sementara informasi yang disampaikan AI banyak yang belum ter-verifikasi kebenarannya. Ini juga ikut menggerus kerja media pers.

Sudah tidak terbilang entah berapa kali AI didiskusikan dan diseminarkan di dalam dan luar negeri, untuk keperluan berbagai bidang pekerjaan, termasuk bidang jurnalisme dan bisnis media.

Akan tetapi masih banyak pertanyaan dan keraguan terhadap kemampuan AI sebagai mesin pendaur ulang informasi yang melimpah-ruah setiap hari.  Keraguan terhadap AI dalam menyeleksi data dan informasi dianggap masih lemah. Antara hoax dan fakta belum dipilah secara meyakinkan.

Di sinilah AI seringkali diletakkan sebagai pihak yang berlawanan dengan kerja jurnalisme yang mengedepankan fakta, data, dan verifikasi ketat terhadap kebenaran informasi sebelum disuguhkan sebagai berita. Selain berlawanan dalam prinsip kebenaran fakta dan data, juga menjadi perlawanan dalam bisnis bermedia.

SMSI tidak kaget dalam situasi seperti sekarang ini. Kelahiran SMSI delapan tahun silam memang menjawab keadaan disrupsi teknologi dan transformasi sosial yang sedang melanda media massa saat itu.

Perusahaan media massa banyak yang bangkrut, sebagian tutup, awak media seperti wartawan dan tenaga pendukung terpaksa dirumahkan, diberhentikan tanpa batas waktu.

Tenaga kerja di bidang pers banyak yang menganggur. Yang masih bertahan bekerja harus beradaptasi dengan cara kerja baru: serba internet.

Mereka yang bisa beradaptasi tetap lanjut bekerja dengan imbalan kesejahteraan yang minimal, karena iklan tidak lagi seperti sebelum terjadi disrupsi.

Keadaan seperti ini tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, termasuk di Tiongkok yang medianya disubsidi dana oleh negara.

Tenaga bidang pers yang berantakan tidak terurus seiring datangnya disrupsi, secara alamiah mengalir ke media digital/siber yang paling mudah disiapkan, dengan pola bosnis yang belum jelas.

Jadi bisa dikatakan SMSI adalah anak perubahan era 4.0, hasil dialektika media lama dan baru. Kelahirannya memang di saat disrupsi sedang berlangsung.

SMSI menjadi media alternatif, dan turut menjadi pelaku.

Hari ini, Jumat, 7 Maret 2025, SMSI berulang tahun ke-8. Perjalanannya sebagai organisasi pers yang beranggotakan sekitar 2.700 pengusaha pers media siber  semakin menapak kuat dan kian tangguh di kancah persaingan media.

Namanya semakin dikenal luas, jaringan bisnisnya tidak terbatas pada instansi pemerintah. Jaringan semakin meluas pada banyak sektor swasta, termasuk di bidang industri.

SMSI semakin mengenal lebih dekat ekosistem media. Disrupsi multidimensi tidak bisa dihindarkan. Semua berjalan secara alamiah. Alam sedang berjalan sesuai kodratnya. Tidak ada yang bisa nenolak. Disrupsi teknologi barlangsung tali-temali, menghidupkan dan meruntuhkan.

Kita tidak menyerah pada disrupsi teknologi. Dari awal SMSI tidak mau hanya sekedar mengantisipasi perkembangan teknologi. Itu langkah pengekor. Tetapi semua anggota tahu bahwa SMSI tampil merancang perubahan jauh di depan teknologi itu sendiri.

Sejak awal SMSI  mendidik semua awak bisnis media dan redaksi bekerja di lapangan langsung, bukan mengutip informasi AI yang masih perlu verifikasi. Jurnalisme yang berkualitas menjadi motto SMSI.

Sekilas SMSI

Selasa 7 Maret 2017  menjadi tonggak bersejarah bagi dunia pers tanah air. Hari itu sebuah lembaga yang kemudian diberi nama SMSI diproklamirkan oleh sejumlah pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari berbagai provinsi di Indonesia. Pembentukan SMSI  digagas oleh Ketua PWI Banten, saat itu PWI Banten dipimpin oleh Firdaus.

Dengan diproklamirkannya pendirian SMSI, kemudian diikuti dukungan para ketua PWI Se-Tanah Air, dengan membentuk SMSI di provinsi-provinsi masing-masing.

Maka jadilah SMSI sebagai organisasi pers nasional yang menjadi wadah para pengusaha pers online atau media siber. Sekarang tercatat sekitar 1.700 pengusaha media siber bergabung. Mereka sebagian besar para start-up yang mengembangkan usaha pers.

Tiga tahun berjalan pada 29 Mei 2020 secara resmi SMSI ditetapkan sebagai konstituen Dewan Pers dengan surat keputusan Dewan Pers Nomor 22/SK-DP/V/2020 yang ditandatangani Ketua Dewan Pers  Mohammad Nuh, 29 Mei 2020.

Dengan ketetapan tersebut maka saat itu jumlah konstituennya menjadi 10, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan SMSI.

Dalam Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) SMSI 26 – 27 September 2020, di Hotel Marbella Anyer, SMSI mengukuhkan arah organisasi dan pemantapan program kerja.

Kemudian dirumuskan secara sistematis, bahwa SMSI menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan anggota dan pengurus.

Untuk 5 tahun pertama, SMSI membagi program menjadi dua program pokok, Pertama, Program Berorientasi kedalam (Internal). Kedua, Program Berorintasi Keluar (Eksternal).

Khusus Internal ada tiga program prioritas internal yaitu Pertama,

Pendataan dan verifikasi anggota setanah air;

Kedua, Tahun 2020 – 2021 diprioritaskan pada  pembangunan infrastruktur SMSI hingga Kota dan Kabupaten di seluruh Indonesia; Ketiga, memperkuat news room yang menjadi  perekat jaringan media siber di Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan amanah rakernas tersebut,  dengan keterbatasan di tengah badai pandemi Covid-19, SMSI bergerak membangun siberindo.co sebagai news room terbesar di Tanah Air yang diluncurkan pada 10 Oktober 2020 di Bintaro Tangerang Selatan.

Sebelumnya sudah di bangun sin.co.id dan indonesiatoday.co.

Sementara itu, secara eksternal sesuai hasil Rakernas 26 – 27 September 2020, SMSI akan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan anggota dan pengurus.

Terkait hal tersebut, SMSI membagi program yang berorientasi eksternal menjadi tiga yaitu Pertama, Membangun hubungan dengan seluruh jajaran pemerintahan dalam rangka memperkuat tatanan pemerintahan  untuk mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat.

Kedua, Membangun hubungan dengan Dunia Usaha dan masyarakat pers sebagai komunitas SMSI; Ketiga, Membangun dan memperkuat hubungan SMSI di tataran international. (*)

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Bercermin dari Kasus Hotman Paris dan Razman Nasution: Dicari Advokat Pendekar Hukum

Published

on

By

Oleh TM. Luthfi Yazid*

KASUS “ributnya” pengacara Hotman Paris Hutapea dan Razman Arief Nasution di Pengadilan Jakarta Utara setelah majelis hakim menskorsing dan menutup sidang karena pihak Razman menolak keras sidang dilakukan secara tertutup mendapat sorotan media yang sangat luas.

Keributan itu semakin disorot karena salah seorang pengacara Razman yang bernama M. Firdaus Oiwobo naik ke atas meja di ruang sidang. Nitizen, publik, dan praktisi hukum pun banyak yang ikut bersuara melalui berbagai channel media. Lengkap dengan pro dan kontranya.

Tidak berhenti di situ. Razman pun dilaporkan ke Bareskrim oleh Ibrahim Palino, hakim Pengadilan Jakarta Utara karena dianggap membuat gaduh dalam persidangan.

Pun beredar di media sosial penetapan Ketua Pengadilan Tinggi tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama M. Firdaus Oiwobo, S.H., maupun atas nama Razman Arief Nasution karena mereka dianggap melakukan ”Contempt of Court” (CoC). Firdaus dan Razman diberhentikan secara permanen sebagai advokat.

Perseteruan Hotman dan Razman sebenarnya sudah lama dan terus bergulir serta menyita ruang publik karena baik Hotman maupun Razman terus menyampaikan sikap yang saling serang dan saling menjatuhkan.

Meskipun berbeda posisi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, semua orang tahu kalau Hotman dan Razman adalah advokat terkenal yang menyandang predikat ”officium nobile” (profesi terhormat).

Dalam situasi negeri kita seperti sekarang, dimana hukum sedang tidak baik-baik saja dan banyak persoalan hukum yang sifatnya strategis dan memerlukan sumbangsih serta problem solving dari para advokat, maka apakah yang dipertontonkan Razman dan Firdaus maupun Hotman adalah sesuatu yang produktif bagi negeri ini?

Bukankah  masih banyak persoalan rakyat yang lemah dan tidak memiliki akses pada keadilan karena dizolimi yang membutuhkan peranserta advokat? Tentu saja, mencari solusi bagi persoalan bangsa dan memperjuangkan keadilan bukan hanya tugas advokat, namun tugas kita semua terutama para penegak hukum.

Thomas S. Kuhn, seorang ilmuwan yang mendalami filsafat ilmu pengetahuan (the philosophy of science) dalam The Structure of Scientific Revolutions (the University of Chicago, 1970) menuliskan opininya yang kurang lebih seperti ini:

Secara saintifik, apabila di suatu masyarakat banyak terjadi anomali (dalam penegakan hukum misalnya), maka suatu saat akan terjadi perubahan paradigma dan akan lahir kelompok-kelompok pencerah yang akan menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Perlu lebih banyak  pendekar dan pahlawan keadilan

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan sejumlah penangkapan terhadap aparat penegak hukum yang diduga melakukan suap, gratifikasi, korupsi dan pemufakatan jahat. Tiga orang hakim ditangkap dan menjadi tersangka di PN Surabaya. Mereka adalah Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo.  Seorang advokat bernama Lisa Rachmat juga ditangkap.

Mereka diduga terlibat permufakatan jahat atas kasus pembunuhan yang dilakukan Gregorius Ronald Tannur terhadap pacarnya. Publik dibuat terhenyak terkait kasus ini karena diduga melibatkan seorang mantan pejabat MA Zarof Ricar (ZR) yang juga ditangkap dan menjadi tersangka dengan dugaan terlibat dalam pemufakatan jahat untuk membebaskan Tannur.

Lebih menggemparkan  publik lagi ternyata di rumah ZR didapati gunungan uang yang mencapai Rp 920.000.000.000.000 atau  hampir Rp 1 trilyun dan emas 51 kg. Beginikah sesungguhnya gambaran dunia peradilan kita? Begitukah caranya untuk mendapatkan keadilan di negeri ini?

Jika kita menyimak UUD 1945 secara tegas dikatakan bahwa kita adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3). Di dalam konstitusi juga tidak ada jaminan “kepastian hukum” saja, tapi yang ada adalah “kepastian hukum yang adil” (Pasal 28D ayat 1). Bahkan di dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan “mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Artinya, kita sebagai bangsa memiliki sebuah “perjanjian luhur” (noble agreement) antara negara dengan rakyatnya bahwa negara wajib menyelenggarakan serta menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (justitia omnibus) tanpa membedakan suku, agama, ras, perbedaan pandangan politik, status sosial dan sebagainya.

Semua kredo di atas belum dapat diwujudkan. Jika kita mengamati sejarah peradilan dan fakta yang kita hadapi, mafia peradilan masih kuat terjadi, karena melibatkan oknum-oknum aparat penegak hukum. Terlalu banyak untuk disebutkan nama-nama yang pernah terjerembab.

Di kalangan pengacara ada pengacara senior OC Kaligis; dari kejaksaan ada Jaksa Pinangki Sirna Malangsari; dari kepolisian ada mantan Kabareskrim Polri Jend. (P) Suyitno Landung dan Jend. (P) Joko Susilo. Peristiwa tersebut harusnya menjadi bahan pelajaran penting agar terhindar dari keterjerumusan yang sama.

Sebagai sebuah bangsa, kita wajib memenuhi janji-janji kemerdekaan seperti mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun janji-janji itu masih belum dapat diraih sepenuhnya, sebab untuk mendapatkan keadilan ternyata masih harus dengan cara membeli.

Di saat-saat seperti ini kita jadi teringat dengan para pendekar  hukum dan keadilan yang sudah tiada, seperti Baharuddin Lopa, Hoegeng Imam Santoso, Yap Tiam Hien, Artidjo Alkostar atau Adnan Buyung Nasution.

Bang Buyung adalah pioneer dan arsitek pendirian dan pengembangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sejak 1970 yang kemudian pernah dijuluki sebagai “lokomotif demokrasi”. YLBHI banyak memberikan bantuan hukum pada masyarakat yang powerless.

Adnan Buyung Nasution dikenal sebagai pejuang HAM dan demokrasi. Ia tidak pernah gentar menghadapi intimidasi dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Karena kekritisannya, penjara pernah dicicipinya, bahkan juga karena kekukuhannya memperjuangkan hukum, demokrasi dan keadilan, izin advokat Adnan Buyung Nasution (Bang Buyung) pun dicabut oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh saat itu melalui Keputusan Menteri Kehakiman No.M.1760-Kep.04.13 Tahun 1987 yang diterbitkan pada 11 Mei 1987.

Bang Buyung pun hijrah ke negeri Belanda dan memanfaatkan waktu untuk studi S3 di Universitas Utrecht dengan melahirkan disertasi yang monumental:The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959.

Bang Buyung menjadi legend penegakan hukum di Indonesia. Pada masa hidupnya ia bukan hanya dikenal di tanah air, tetapi  juga di dalam komunitas hukum di luar negeri.

Namun figur seperti Bang Buyung tidak banyak lagi dikenal oleh advokat-advokat generasi milineal sekarang. Banyak advokat muda tidak mengenal dan karenanya tidak mengidolakan Bang Buyung, tapi justru mengidolakan advokat dengan tipologi yang lain.

Di luar profesi advokat, ada figur penegak hukum lainnya yang patut menjadi teladan. Baharuddin Lopa sebagai jaksa, komisioner Komnas HAM, dan Jaksa Agung (JA) dikenal dengan keberaniannya. Lopa dikenang karena memiliki integritas yang kuat.

Ia menentang dan menolak suap, korupsi maupun intervensi dalam penegakan hukum dari siapapun, termasuk dari penguasa. Lopa konsisten dengan prinsip-prinsip yang diyakininya dan terus berusaha memulihkan citra kejaksaan sampai menjelang wafatnya seolah-olah ia tak punya urat takut.

Ia hadapi siapapun yang mencoba menabrak hukum dan keadilan yang diperjuangkannya. Hidup Lopa yang sederhana serta ketaatannya kepada Tuhan itulah yang membuatnya kokoh bak batu karang di tengah lautan.

Kemudian ada Jenderal Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri.  Namanya harum dikenang masyarakat karena sebagai pucuk pimpinan tertinggi di kepolisian Hoegeng hidup teramat sangat sederhana serta dikenal kejujurannya.

Ia menjadi simbol kejujuran dan ketegasan di kepolisian, sebab ia tidak dapat disogok dan menolak segala macam gratifikasi dan korupsi. Sebagai aparat penegak hukum ia betul-betul menjaga martabatnya dengan menjadikan dirinya sebagai teladan banyak khalayak.

Selain Adnan Buyung Nasution, Baharuddin Lopa dan Hoegeng Imam Santosa tentu kita masih ingat tentang peran penting para Sarjana Hukum (Meester in de Rechten) yang juga dianggap sebagai “advokat” di masa lalu.

Mereka adalah para para pejuang yang mau terlibat dengan persoalan masyarakat, bangsa dan negaranya. Mereka terpanggil untuk berbuat ketika melihat ketidakadilan, kedholiman serta penindasan. Mereka sangat gigih untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan, keterbelakangan dan penindasan.

Mereka telah meninggalkan sebuah legacy yang dikenang sampai saat ini. Mr. Muh Yamin, Mr. Soepomo, Mr. Muh Rum, Mr. Achmad Subardjo, Mr. Muh Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Johanes Latuharhary, dan Mr. Kasman Singodimedjo hanyalah beberapa nama yang bergelar Mr. yang dapat kita sebutkan. Nama-nama mereka menjadi legenda.

Mereka dikenang budi baiknya oleh sejarah, sebagaimana Mahatma Gandhi, seorang pengacara dari India yang dikenal dunia dengan Ahimsanya atau Nelson Mandela dari Afrika Selatan yang juga pengacara yang dikenal kegigihannya menentang politik apartheid. Itulah memang hidup. Tergantung pilihan kita ingin dikenang sebagai apa usai meninggalkan dunia.

Pada akhirnya, kegemilangan suatu bangsa terletak pada attitude, karakter atau watak para pemimpinnya yang diikuti dengan keberanian (courage) sebagaimana yang pernah dipesankan cendekiawan China Lu Kun (1536-1618) maupun negarawan dan pahlawan Negeri Sakura, Saigo Takamori (1827-1877). Bangsa ini membutuhkan lebih banyak  pendekar dan pahlawan keadilan.

Dalam kaitan ini, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya beberapa waktu lalu menegaskan akan mengejar koruptor meski sampai ke Antartika. Tekad tersebut tentu sangat kita hargai.

Pidato Presiden itu harus dijadikan panduan gerak kerja kabinet Merah Putih atau dapat diibaratkan semacam road-map, yang seumpama landasan pesawat (run-way) menjadi koridor setiap pesawat yang akan take off maupun landing. Apabila pesawat landing ataupun take off di luar koridor run-way, maka sangat berpotensi mengakibatkan kecelakaan.

 *TM. Luthfi Yazid adalah Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI).

Bagikan Berita :
Continue Reading

Opini

Salah Satu Jejak Kualitas Pj Gubernur Sumut Agus Fatoni, Enam Bulan Raih 31 Penghargaan

Published

on

By

Catatan Ir Zulfikar Tanjung

(Penulis Bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers)

KETIKA Agus Fatoni dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada 24 Juni 2024, hanya lima bulan sebelum Pilkada serentak 27 November, banyak yang memandang kehadirannya dengan kacamata politis.

Namun, alih-alih terjebak dalam polemik politik, ia menjawab semua keraguan dengan kerja nyata. Dalam waktu enam bulan, Fatoni membawa Sumatera Utara mencetak 31 penghargaan, membuktikan bahwa keberadaannya bukan sekadar formalitas, melainkan simbol komitmen untuk mengangkat martabat provinsi ini ke panggung nasional.

Ini rekor pencapaian yang luar biasa. Tokoh birokrasi nasional yang kini Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri ini telah menambahkan catatan jejak transformasi nyata bagi Sumut. Dr Drs H Agus Fatoni MSi telah menunjukkan kualitas kepemimpinan yang inklusif, visioner, dan strategis. Ke-31 penghargaan itu dipersembahkannya untuk seluruh masyarakat Sumut.

Pencapaian 31 penghargaan dalam waktu singkat tidak hanya mencerminkan keberhasilannya secara personal tetapi juga memperlihatkan kemajuan Sumut secara kolektif dengan basis Gerakan Serentak. Fatoni telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang mampu merangkul berbagai sektor pembangunan dengan jargon “Sumut Mantap dan Harmoni”.   Jejak kepemimpinan ini menjadi salah satu model terbaik bagi pelaksanaan tugas Penjabat Gubernur di Indonesia.

Itu sebagai bukti nyata dari kerja keras kolektif dan komitmen untuk membawa perubahan. Di bawah kepemimpinannya, Sumatera Utara tidak hanya mencapai prestasi, tetapi juga memulai babak baru dalam pengelolaan pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Setiap penghargaan adalah simbol dari langkah maju yang membawa Sumut ke arah yang lebih baik.

Ini memang mengesankan. Itu terlihat sejak Fatoni menjejakkan kaki di Sumut, pada 1 Juli 2024, memperoleh Penghargaan Pin Emas, Pedang Emas, dan Piagam dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Penghargaan ini mencerminkan kemampuan kepemimpinannya selama ini selaku kepala daerah tidak diragukan lagi.

Ini permulaan awal yang mengesankan bagi Sumut yang saat itu sedang berhadapan dengan sejumlah agenda nasional besar dan strategis, seperti PON XXI dan Pilkada serentak. Penghargaan tersebut menunjukkan pengakuan atas kiprahnya yang kuat dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Tidak berhenti di situ, Fatoni juga berhasil mengantarkan Sumut meraih Apresiasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 18 Juli 2024. Penghargaan ini menunjukkan keberhasilan Sumut dalam percepatan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei, dan pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata prioritas.

Pemimpin yang Berorientasi pada Rakyat

Memang menarik untuk menyimak penghargaan-penghargaan tersebut satu per satu sebagai mozaik keberhasilan Fatoni dalam enam bulan memimpin Sumut. Namun, dengan menyoroti beberapa di antaranya yang paling menonjol, kita dapat memperoleh gambaran yang jelas dan tegas mengenai model kepemimpinannya.

Keberhasilan dalam menurunkan angka stunting menjadi salah satu capaian signifikan Fatoni. Pada Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Penurunan Stunting, 5 September 2024, Fatoni menerima penghargaan atas pencapaian Pemprov Sumut dalam menekan angka stunting secara signifikan. Penghargaan ini dilengkapi dengan insentif fiskal sebesar Rp775 miliar, yang menunjukkan kepercayaan pemerintah pusat terhadap Sumut. Penghargaan diserahkan langsung oleh Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin.

Fatoni juga memperlihatkan komitmennya terhadap kesejahteraan pekerja. Penghargaan Paritrana Award dan pengakuan dari organisasi buruh menunjukkan keberhasilan Fatoni dalam melindungi pekerja rentan dan meningkatkan jumlah pekerja yang tercover oleh jaminan sosial. Upaya ini mencerminkan perhatian Fatoni terhadap kelompok masyarakat yang rentan.

Khusus Penghargaan Paritrana Award diserahkan langsung oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, K.H. Ma’ruf Amin, di Plaza Badan Penyelenggara (BP) Jamsostek, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Fatoni menyampaikan bahwa Pemprov Sumut berkomitmen untuk melindungi seluruh pekerja, terutama pekerja rentan. Pada tahun 2024, Pemprov Sumut menanggung 50 ribu pekerja rentan, sebuah peningkatan signifikan dari 10 ribu pada tahun 2022 menjadi 41 ribu pekerja pada tahun 2023.

Kesuksesan Fatoni dalam meraih penghargaan tidak lepas dari kemampuannya membangun sinergi dengan berbagai pihak. Salah satu contoh nyata adalah penghargaan Wahana Tata Nugraha Wiratama yang mencerminkan tata kelola transportasi yang inovatif dan terencana. Selain itu, Fatoni juga berhasil mengukuhkan Sumut sebagai salah satu provinsi terbaik dalam pelayanan publik dengan meraih zona hijau dari Ombudsman RI.

Tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, Fatoni juga memberikan perhatian khusus pada sektor sosial dan budaya. Penghargaan dari CNN Indonesia Award dalam kategori Most Inspiring Leader dan Best Social Engagement mencerminkan pengakuan atas pendekatan humanis yang diusungnya. Sementara itu, penghargaan untuk Pj Ketua TP PKK Sumut, Tyas Fatoni, menunjukkan keberhasilan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan UMKM.

Analisis dan Refleksi

Pencapaian 29 penghargaan dalam waktu singkat merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif dan berorientasi pada hasil. Fatoni berhasil menghadirkan kebijakan yang terukur, berbasis data, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Kemampuannya dalam memprioritaskan isu-isu strategis seperti penurunan stunting, tata kelola transportasi, dan perlindungan sosial menjadi model yang layak dicontoh oleh kepala daerah lainnya.

Namun, tantangan ke depan tetap besar. Konsistensi dalam implementasi program dan kesinambungan sinergi dengan pemerintah pusat, swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan dari hasil-hasil yang telah dicapai. Fatoni juga harus terus menguatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran serta mendorong partisipasi publik dalam setiap program pemerintah.

Enam bulan pertama kepemimpinan A. Fatoni di Sumut telah memberikan gambaran nyata tentang bagaimana seorang pemimpin dapat membawa perubahan yang signifikan dalam waktu singkat. Dengan 29 penghargaan yang diraih, Fatoni telah menunjukkan bahwa Sumut memiliki potensi besar untuk menjadi provinsi yang maju, sejahtera, dan berdaya saing.

Ke depan, tantangan dan harapan masyarakat Sumut tetap menjadi motivasi utama bagi Fatoni untuk terus bekerja keras. Jejak prestasi yang telah ditorehkan tidak hanya menjadi kebanggaan bagi Sumut, tetapi juga inspirasi bagi daerah lain di Indonesia. Dalam konteks ini, A. Fatoni telah membuktikan bahwa kepemimpinan yang inklusif, inovatif, dan berorientasi pada hasil adalah kunci keberhasilan dalam membangun daerah.

Bagikan Berita :
Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!